BOJONEGORO – Derasnya hujan rupanya bukan satu-satunya yang mengguyur Kota Bojonegoro belakangan ini. Kritik publik pun turut tumpah, menyasar proyek drainase dan trotoar yang tersebar di ruas-ruas utama kota mulai dari Jalan Panglima Polim, Sawunggaling, WR. Supratman, hingga AKBP M. Suroko.
Proyek yang menelan dana miliaran rupiah dari APBD itu kini jadi sorotan tajam warga. Dari jalan yang tak rata, material berantakan, hingga sisi keselamatan pengguna jalan yang diabaikan.
Kondisi ini memaksa Komisi D DPRD Bojonegoro melakukan sidak mendadak di tengah derasnya hujan dan gelombang kritik publik.
Namun, di balik riuhnya pemberitaan dan inspeksi lapangan, terkuak persoalan yang jauh lebih dalam bukan semata soal teknis di lapangan, melainkan sistem birokrasi yang masih amburadul dalam perencanaan dan manajemen waktu.
“Kami ingin kerja sesuai kontrak. Tapi bagaimana mau pasang pasir dasar kalau lokasi sudah tergenang air. Musim hujan tidak menunggu administrasi,” keluh M salah satu kontraktor pelaksana, Rabu (5/11/22/2025).
Hasil penelusuran menunjukkan, skenario serupa terjadi hampir setiap tahun. Dari 12 bulan masa anggaran, proyek fisik rata-rata hanya punya waktu efektif sekitar 120 hari kerja. Ironisnya, proses tender dan pencairan dana baru benar-benar jalan ketika musim hujan tiba.
Kondisi itu membuat kontraktor terjepit di antara dua tekanan, kejar target penyelesaian proyek dan desakan publik soal mutu pekerjaan. Tak sedikit pekerjaan dilakukan dalam kondisi saluran tergenang, jalan becek, dan cuaca ekstrem.
Namun, yang disalahkan tetap para pelaksana lapangan. Padahal, akar persoalan justru terletak pada perencanaan yang buruk dan jadwal pelaksanaan yang tidak adaptif terhadap cuaca Bojonegoro yang dikenal basah di penghujung tahun.
Langkah cepat Komisi D DPRD memang patut diapresiasi. Tapi tanpa evaluasi mendalam terhadap akar masalah mulai dari keterlambatan penyusunan dokumen lelang, turunnya DPA yang molor, hingga minimnya pengawasan mutu, maka sidak hanya menjadi panggung politik sesaat, bukan solusi teknis.
Pemerintah daerah perlu segera menata ulang kalender proyek fisik agar sinkron dengan siklus cuaca dan kesiapan administrasi. Sebab, pembangunan seharusnya tidak lagi sekadar mengejar serapan anggaran, tetapi berorientasi pada kualitas hasil dan ketepatan waktu.
Jika pola lama terus dibiarkan, maka Bojonegoro akan terus terjebak dalam lingkaran klasik, proyek dikejar hujan, disorot publik, disalahkan pelaksana, sementara sistem tetap dibiarkan rusak. (aj)

























