Beranda Opini Mbah Canthing: Laskar Diponegoro Dakwah di Nganjuk Istri Bojonegoro

Mbah Canthing: Laskar Diponegoro Dakwah di Nganjuk Istri Bojonegoro

Img 20250413 wa0046

NGANJUK – Perang Jawa yang berlangsung antara 1825–1830 dikenal sebagai salah satu babak heroik perlawanan rakyat Nusantara terhadap kolonialisme Belanda. Di balik kepemimpinan Pangeran Diponegoro, berkobar pula semangat Islam yang kian sulit diabaikan oleh penjajah.

Sejarawan Nugroho Notosusanto mencatat bagaimana ajaran dan semangat Islam menjadi kekuatan penggerak besar dalam perjuangan tersebut.

Laskar Diponegoro terdiri dari berbagai kalangan, terutama para santri dan ulama, yang secara militan mendukung perjuangan sang pangeran.

Belanda sampai harus mengerahkan lebih dari 18.000 pasukan gabungan demi menekan perlawanan ini, yang biayanya sangat besar hingga memicu penerapan tanam paksa oleh Van den Bosch.

Catatan Peter Carey mengungkap, ada ratusan tokoh agama dari kiai, haji, syekh hingga penghulu yang bergabung dalam barisan laskar Diponegoro.

Namun setelah penangkapan Diponegoro melalui tipu muslihat di Magelang, para pejuang ini menyebar, membentuk basis perlawanan baru yang tersembunyi.

Alih-alih menggunakan senjata, mereka mengubah strategi menjadi gerakan dakwah dan pendidikan.

Para eks laskar tersebut mendirikan pesantren, menyebarkan literasi, dan memperkuat pemahaman Islam di tengah masyarakat, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pengawasan Belanda.

Salah satu tokoh penting dalam gelombang hijrah tersebut adalah Mbah Canthing, sosok yang kemudian menetap di Desa Mlorah, Rejoso, Kabupaten Nganjuk.

Bersama tiga rekannya, ia melanjutkan perjuangan melalui jalur dakwah. Nama aslinya adalah Tumenggung Sri Moyo Kusumo, sebuah gelar yang menunjukkan status bangsawan dan kepemimpinannya di masa Kerajaan Mataram Islam.

Sebelum perang, ia bertugas sebagai penghulu seorang tokoh yang mengurus pernikahan dan urusan keagamaan.

Usai perang berakhir tragis, Mbah Canthing memilih bersembunyi di Jawa Timur.

Strategi penyamaran pun dilakukan, bahkan sampai mengganti identitas demi menghindari kejaran kolonial.

Dari keempat sahabat seperjuangannya, Mbah Canthing dikenal sebagai yang tertua dan paling berpengaruh.

Di Mlorah, perjuangannya berlanjut dalam bentuk penyebaran Islam.

Ia menikahi Mbah Sawi dari Bojonegoro dan dikaruniai empat anak.

Wilayah bekas tempat tinggalnya kemudian diwakafkan oleh keturunannya untuk dakwah dan pendidikan.

Dari inisiatif inilah kemudian berdiri mushola dan lembaga pendidikan Nahdhotul Muta’allimin yang kini dipimpin oleh KH Riyanto.

Makam Mbah Canthing sempat dikenali hanya dari dua nisan tua di dekat sebuah sumur jernih yang kini tak lagi ditemukan.

Lingkungan sekitar makam dulunya asri, dikelilingi pohon-pohon besar yang menambah aura sakral lokasi tersebut.

Kisah hidup Mbah Canthing mencerminkan semangat nasionalisme santri yang tidak berhenti meski harus bertransformasi bentuk.

Dari medan perang ke ruang-ruang pendidikan dan spiritual, tekadnya untuk membebaskan bangsanya dari kolonialisme tak pernah padam.

Semangat itu menjadi warisan yang patut dijaga dan dicontoh oleh generasi penerus bangsa.

Oleh: Mukani – LTN PWNU Jawa Timur (2018–2023, 2024–2029). (aj)