BOJONEGORO – Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Bojonegoro menyampaikan pandangan umum terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dalam Rapat Paripurna yang digelar pada Jumat (24/10/2025).
Pandangan ini disampaikan oleh Natasya Devianti, selaku juru bicara Fraksi PDI Perjuangan.
Dalam kesempatan tersebut, Fraksi PDI Perjuangan menyampaikan apresiasi kepada pimpinan DPRD, serta Bupati Bojonegoro atas komunikasi dan sinergi yang telah terjalin baik.
Menurut Fraksi PDIP, kerja sama yang solid antara legislatif dan eksekutif menjadi pondasi penting dalam melahirkan kebijakan publik yang berpihak pada masyarakat.
“Sinergi yang baik antara DPRD dan Pemerintah Daerah akan melahirkan kebijakan yang tidak hanya tepat sasaran, tetapi juga berkeadilan dan berkelanjutan,” ujar Natasya Devianti.
Fraksi PDI Perjuangan menilai, pembahasan Raperda KTR merupakan langkah yang sejalan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan UU Kesehatan.
Aturan tersebut secara tegas mengamanatkan agar pemerintah daerah menetapkan kawasan tanpa rokok melalui peraturan daerah.
Namun demikian, PDIP menyoroti bahwa penerapan kebijakan ini akan menghadapi berbagai tantangan, baik secara sosial maupun ekonomi, terutama karena Bojonegoro merupakan salah satu daerah penghasil tembakau terbesar di Jawa Timur.
Dalam pandangan umumnya, Fraksi PDIP memaparkan sejumlah data penting yang menggambarkan kondisi riil terkait konsumsi tembakau di Indonesia dan posisi Bojonegoro sebagai daerah penghasil tembakau.
Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, terdapat sekitar 70 juta perokok aktif, dengan 7,4 persen di antaranya merupakan perokok muda usia 10–18 tahun.
Pendapatan negara dari cukai rokok pada tahun 2023 mencapai Rp210,29 triliun. Bojonegoro sendiri berkontribusi sebesar Rp84 miliar dari total cukai tersebut.
Produksi tembakau Bojonegoro mencapai 11.250 ton per tahun, dengan 19 pabrik rokok yang mempekerjakan sekitar 12.500 pekerja, mayoritas perempuan.
PDIP menilai, data tersebut menunjukkan bahwa kebijakan Kawasan Tanpa Rokok bukan hanya isu kesehatan, tetapi juga berdampak langsung pada perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Fraksi PDI Perjuangan menegaskan bahwa kebijakan Kawasan Tanpa Rokok harus dijalankan tanpa menimbulkan kegelisahan sosial dan ekonomi.
Pemerintah Kabupaten Bojonegoro diharapkan mengedepankan pendekatan yang dialogis dan inklusif dalam implementasinya.
“Raperda ini harus menjadi instrumen untuk mendorong perubahan perilaku perokok ke arah yang lebih sehat, bukan sekedar pembatasan. Pemerintah juga perlu melibatkan industri rokok, tenaga kerja, dan masyarakat dalam perumusan kebijakan agar tidak ada pihak yang dirugikan,” tegas Natasya.
PDIP juga menekankan pentingnya penegakan hukum terhadap rokok ilegal serta memperkuat kolaborasi lintas sektor, mulai dari kesehatan, industri, hingga masyarakat.
Di akhir pandangan umumnya, Fraksi PDI Perjuangan menyatakan dukungan agar Raperda Kawasan Tanpa Rokok dibahas lebih lanjut pada tahap pembahasan berikutnya.
Langkah ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang adil, aplikatif, dan berpihak pada kesehatan masyarakat tanpa mengabaikan aspek ekonomi lokal.
“Kami mendorong agar pembahasan Raperda ini berlanjut secara mendetail, sehingga dapat melahirkan regulasi yang sehat bagi masyarakat, dan tetap menjaga keberlanjutan ekonomi daerah,” pungkas Natasya Devianti.
Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) menjadi salah satu inisiatif strategis Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dalam membangun lingkungan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Pandangan Fraksi PDI Perjuangan menunjukkan adanya kesadaran untuk menyeimbangkan kesehatan publik dengan realitas ekonomi daerah yang masih bergantung pada industri tembakau. (aj)
























