Beranda Daerah Kontraktor Kecil Bojonegoro Terpuruk di Tengah Proyek Triliunan

Kontraktor Kecil Bojonegoro Terpuruk di Tengah Proyek Triliunan

B05b0bf8 4094 4aec bb18 4b5d6180ae42

BOJONEGORO – Di balik megahnya angka APBD Bojonegoro yang tembus Rp7,9 triliun, tersimpan kisah getir dari para kontraktor kecil lokal.

Mereka kini terpuruk, kehilangan harapan, dan merasa tertinggal di tengah gegap gempita pembangunan yang seolah hanya dinikmati oleh segelintir pihak.

Di sebuah warung kopi sederhana di pinggiran kota, suasana murung terasa pekat. Beberapa kontraktor lokal duduk diam menatap cangkir kopi yang sudah dingin. Suara mereka pelan, tapi sarat dengan kekecewaan yang mendalam.

“Kami ini orang Bojonegoro, pengusaha lokal. Tapi rasanya seperti tidak dianggap di tanah sendiri. Tahun ini ribuan paket proyek keluar, tapi satu pun kami tak kebagian,” keluh salah satu kontraktor Abdur Rasyid, Selasa, (21/10/2025).

Ia mengaku telah belasan tahun bergelut di dunia konstruksi. Namun, kali ini menjadi tahun paling berat sepanjang kariernya.

Harapan sempat tumbuh ketika Bojonegoro dipimpin oleh putra daerah, tapi kenyataan berkata lain sistem Penunjukan Langsung (PL) yang dulu memberi ruang justru kini terasa tertutup rapat.

“Seolah semua sudah disiapkan untuk kelompok tertentu. Kami hanya bisa menonton. Rasanya seperti tamu di rumah sendiri,” ujarnya dengan nada getir.

Proyek-proyek kecil yang biasanya menjadi “napas” para kontraktor kini hilang dari genggaman. Dampaknya, banyak usaha kecil gulung tikar dan para pekerja bangunan terpaksa dirumahkan.

“Tiap hari tukang-tukang lokal nelpon, tanya ada kerjaan nggak. Tapi sekarang jangankan proyek, kabar lelang pun sudah jarang terdengar,” tutur Rudi, kontraktor lain yang duduk di sebelahnya.

Kondisi ini memperparah lesunya ekonomi lokal. Di saat pemerintah dan DPRD Bojonegoro gencar menyuarakan pemerataan pembangunan, kenyataan di lapangan justru menunjukkan kesenjangan yang makin lebar antara jargon dan realita.

Meski slogan “pembangunan berkeadilan” terus digaungkan, para pelaku usaha lokal justru merasa tersisih di tanah kelahiran mereka sendiri. Proses pengadaan dinilai tidak transparan, dan peluang bagi kontraktor kecil makin menyempit.

“Kami bukan minta belas kasihan, kami hanya ingin diberi kesempatan yang adil,” ucap salah satu kontraktor sebelum meninggalkan warung yang meningkatkan secangkir kopi yang tak habis, dan sisa harapan di tengah pembangunan yang kian menjauh dari rakyat kecil. (aj)