MEDIA CAHAYA BARU – Sebuah video yang beredar di grup WhatsApp memicu kegaduhan di kalangan insan pers Jawa Timur. Dalam tayangan tersebut, seorang pria yang diduga oknum kepala desa di Kabupaten Nganjuk, terlihat melontarkan pernyataan kontroversial, wartawan yang memiliki KTP luar daerah dianggap tidak berhak melakukan wawancara atau konfirmasi di wilayahnya.
Yang lebih mengejutkan, oknum kades itu juga terdengar mengajak masyarakat untuk menolak, mengusir, bahkan melakukan kekerasan terhadap wartawan yang datang menjalankan tugas jurnalistik. Sikap ini langsung menuai kecaman karena dinilai mencederai prinsip demokrasi dan kebebasan pers.
Ketua Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Jawa Tengah menilai pernyataan tersebut sangat berbahaya. “Kebebasan pers bukan hak yang bisa diberikan atau dicabut oleh kepala desa, camat, atau pejabat mana pun. Itu sudah dijamin konstitusi,” tegasnya.
Ia mengingatkan, UUD 1945 Pasal 28F dengan jelas menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh dan menyampaikan informasi. Hal ini diperkuat oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, di mana Pasal 4 menegaskan bahwa kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara.
“Wartawan diukur dari legalitas medianya, kartu pers, atau surat tugas, bukan alamat KTP. Menolak liputan hanya karena alasan administratif jelas menunjukkan ketidakpahaman hukum,” tambahnya.
AMKI juga mengingatkan bahwa tindakan provokatif tersebut bisa menjerat oknum kades ke ranah hukum. Pasal 160 KUHP mengatur hukuman hingga enam tahun penjara bagi siapa pun yang menghasut masyarakat untuk melakukan kekerasan.
Selain itu, Pasal 18 ayat (1) UU Pers menegaskan, setiap tindakan yang menghambat atau menghalangi kerja wartawan dapat dipidana maksimal dua tahun penjara atau denda Rp500 juta.
“Ajakan mengusir apalagi memukuli wartawan bukan sekadar salah kaprah, tapi bisa masuk kategori tindak pidana,” ujar Ketua AMKI menegaskan.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa pers bekerja dengan prinsip verifikasi, keberimbangan, serta menjunjung asas praduga tak bersalah. Konfirmasi kepada narasumber justru merupakan kewajiban etis wartawan. Jika pejabat desa menutup diri, itu sama saja menutup ruang transparansi dan akuntabilitas publik.
“Seorang kepala desa seharusnya jadi teladan, bukan justru memprovokasi. Kalau ragu dengan wartawan, cukup minta kartu pers atau surat tugas. Tidak perlu main ancam dan hasut masyarakat,” tegasnya.
AMKI Jawa Tengah mendesak agar kasus ini ditindaklanjuti serius oleh aparat penegak hukum. Menurutnya, peristiwa tersebut bisa menjadi preseden buruk jika dibiarkan.
“Kebebasan pers adalah roh demokrasi. Menghalangi pers sama dengan mematikan nafas kebebasan itu sendiri,” pungkasnya. (Sul)