LAMONGAN – Drama politik kembali mengguncang Lamongan, Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Lamongan pada Rabu sore (9/7/2025) mendadak tegang dan memanas setelah Erna Sujarwati, Ketua Fraksi PDI Perjuangan, secara mengejutkan memilih walkout dari forum sidang.
Aksi protes ini dipicu oleh keputusan kontroversial pimpinan rapat yang secara sepihak memutuskan Pandangan Umum (PU) Fraksi terhadap P-APBD 2025 tidak perlu dibacakan, cukup diserahkan secara tertulis.
Keputusan “bungkam” ini sontak menyulut kemarahan Erna. Ia menegaskan bahwa pembacaan PU Fraksi bukanlah sekedar basa-basi, melainkan jantung dari fungsi legislatif dan kontrol anggaran terhadap eksekutif.
“Bagaimana kita bisa tahu, apakah rancangan anggaran yang disusun kepala daerah benar-benar untuk rakyat atau hanya untuk elite. Apakah sudah memenuhi kepentingan publik atau belum,” kecam Erna, Rabu (9/7/2025), mempertanyakan transparansi yang kian diabaikan.
Erna tak segan menuding mekanisme pengambilan keputusan pimpinan DPRD sebagai bentuk pembungkaman demokrasi. Ia mengkritik keras keputusan untuk tidak membacakan PU Fraksi diambil secara sepihak dan tergesa-gesa, jauh dari semangat musyawarah mufakat.
“Seharusnya dibahas lewat musyawarah mufakat, bukan langsung ‘voting’ angkat tangan tanpa pembahasan mendalam. Ini forum tertinggi legislatif, bukan ruang komando,” sindirnya tajam, menyiratkan praktik otoriter di balik selubung demokrasi.
Ironisnya, di tengah perjuangan PDI Perjuangan menyuarakan transparansi, mayoritas fraksi lain di DPRD Lamongan, termasuk Gerindra, Golkar, PKB, Demokrat, PAN, NasDem, Ummat, dan Keadilan Sejahtera, justru memilih diam dan menyerahkan naskah Pandangan Umum Fraksi tanpa pembacaan.
Sikap kolektif ini semakin memperkuat kesan bahwa suara-suara kritis kini kian terpinggirkan, membiarkan publik hanya menebak-nebak arah kebijakan anggaran yang diusulkan.
“Kalau semua fraksi hanya menyerahkan naskah tanpa dibacakan, lalu siapa yang akan menjelaskan dan mempertanggungjawabkan sikap politik kita kepada rakyat,” kata Erna dengan nada getir, menyoroti hilangnya akuntabilitas parlemen.
Erna Sujarwati tak bisa menyembunyikan kekecewaannya terhadap pimpinan DPRD yang dianggap telah menggerus nilai-nilai keterbukaan dan melemahkan fungsi DPRD sebagai lembaga representatif.
Dirinya menyebut, keputusan tersebut menjadikan DPRD sekedar “stempel kebijakan” yang pasif dan manut pada eksekutif.
“Bacaan Pandangan Umum itu momen penting. Dari situ kita tahu bagaimana komitmen fraksi terhadap isu-isu publik. Tapi sekarang, publik hanya disuguhi diam dan dokumen,” tuturnya, menyoroti kemunduran fungsi pengawasan.
Aksi walkout Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini menjadi alarm serius bahwa demokrasi lokal Lamongan sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja.
Di tengah pembahasan Perubahan APBD 2025 yang menyangkut hajat hidup orang banyak, publik justru disuguhi proses politik yang dinilai minim transparansi dan diskusi substansial.
Ketika penyampaian pandangan fraksi hanya dijadikan formalitas administratif, ruang partisipasi rakyat pun kian menyempit.
“Jangan heran jika publik makin apatis terhadap politik. Kalau di DPRD saja pendapat sudah tidak boleh dibacakan, lalu apa bedanya dengan pemerintahan otoriter berselimut demokrasi,” ucap Erna, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Lamongan, menyimpulkan kegelisahan akan masa depan demokrasi di daerah. (Bup)