SURABAYA — Lagu Indonesia Raya berkumandang gagah di setiap upacara, menjadi lambang persatuan dan kebanggaan bangsa. Namun di balik kemegahannya, ada ironi yang menyesakkan dada, makam sang pencipta lagu kebangsaan, Wage Rudolf Soepratman, nyaris tak pernah dikunjungi oleh pemimpin negeri yang lagunya mereka kumandangkan.
Di tengah padatnya arus kendaraan di Jalan Kenjeran, Rangkah, Surabaya, berdiri hening sebidang tanah 42×44 meter. Tak banyak yang tahu, di situlah jasad W.R. Soepratman, sang wartawan, komponis, dan pejuang nasionalisme melalui nada, dimakamkan.
Sudah delapan presiden silih berganti, namun tak satu pun di antara mereka menundukkan kepala di depan pusara pencipta lagu kebangsaan ini.
Dari Soekarno hingga Prabowo Subianto, semuanya absen.
Adalah Gufron (46), generasi ketiga juru kunci makam Soepratman, yang menjaga tempat ini dengan kesetiaan dan cinta.
Sejak kakeknya, Sukirman, mulai menjaga makam tahun 1960, lalu dilanjutkan ayahnya, Mat Tabri, hingga kini tongkat itu berada di tangan Gufron.
“Sejak embah saya sampai sekarang, belum pernah ada presiden datang ke sini. Padahal sering lewat di depannya,” ucap Gufron lirih.
Kini ia juga bekerja sebagai tenaga honorer di Dinas Sosial Kota Surabaya. “Gaji saya UMR, tapi ini bukan soal uang. Ini soal pengabdian,” ujarnya.
Ironi kian terasa ketika Gufron menunjuk prasasti hitam di area makam bertuliskan “Pemugaran oleh Presiden Megawati Soekarnoputri”.
Namun, kata Gufron, sang presiden tak pernah hadir langsung.
“Hanya tanda tangan di Tugu Pahlawan, prasastinya dikirim ke sini,” katanya pelan.
Kritik datang dari Rudy T. Mintarto, Ketua Panitia 97 Tahun Indonesia Raya yang akan diperingati pada 28 Oktober 2025.
Menurutnya, bangsa ini terlalu sibuk dengan upacara simbolik tapi sering lupa pada akar sejarahnya.
“Pak Wage bukan hanya komponis, dia penggugah kesadaran rakyat lewat musik dan tulisan, tapi penghargaan itu berhenti pada lagu, tidak sampai ke makamnya,” ujar Rudy.
Ia menyebut, ziarah ke makam W.R. Soepratman seharusnya menjadi simbol moral, bukan sekadar protokol. “Kita butuh ziarah nasionalisme, bukan sekadar seremoni,” tegasnya.
Panitia yang ia pimpin akan menggelar acara reflektif, memadukan seni, musik, dan pembacaan refleksi perjuangan Soepratman agar generasi muda tahu: kemerdekaan lahir juga dari pikiran dan karya seorang seniman.
“Sudah waktunya makam ini hidup kembali, bukan hanya ramai tiap 28 Oktober. Presiden seharusnya hadir, memberi penghormatan pada sejarah bangsa,” tambah Rudy.
W.R. Soepratman meninggal 17 Agustus 1938, tepat tujuh tahun sebelum Indonesia merdeka. Tanggal wafatnya sama dengan tanggal lahirnya bangsa seolah semesta sengaja menyatukannya.
Ia wafat di usia 35 tahun karena penyakit paru-paru, namun sempat berpesan, “Suatu ketika Indonesia pasti merdeka.” Tujuh tahun kemudian, keyakinan itu menjadi nyata.
“Kalau saja satu presiden datang ke sini, menundukkan kepala bukan untuk kamera tapi karena penghormatan, mungkin ruh Pak Wage akan tersenyum,” kata Rudy lirih.
Kisah ini bukan hanya tentang pemimpin yang lupa berziarah, tapi tentang bangsa yang mulai abai pada akarnya sendiri.
Lagu Indonesia Raya dinyanyikan dengan penuh khidmat di istana, di sekolah, di stadion, bahkan di forum dunia.
Namun makam penciptanya tetap sunyi, hanya dijaga seorang juru kunci dengan hati.
“Semoga suara ini sampai ke istana, karena menghormati W.R. Soepratman bukan sekedar menziarahi makam, tapi menziarahi nurani bangsa.” harap Rudy. (Sam)

























