Beranda Daerah Bojonegoro Dituding Langgar Kewenangan, Proyek Tanggul Diduga Tanpa Izin BBWS Bengawan Solo

Bojonegoro Dituding Langgar Kewenangan, Proyek Tanggul Diduga Tanpa Izin BBWS Bengawan Solo

79067e08 3718 4ccf 9131 a5a6f58f7d4c

BOJONEGORO – Tanggul Bengawan Solo kembali ambrol. Namun kali ini, yang jadi sorotan bukan hanya longsornya tanah, melainkan longsornya batas kewenangan antar lembaga.

Publik menilai, langkah Pemerintah Kabupaten Bojonegoro yang turun tangan langsung menangani tanggul justru terkesan nekat dan melanggar aturan, karena proyek tersebut sejatinya menjadi tanggung jawab Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo di bawah Kementerian PUPR.

Alih-alih menunggu langkah terukur dari BBWS, Pemkab Bojonegoro tampak sibuk memerankan diri sebagai “penyelamat sungai”, turun langsung mengerjakan proyek tanggul dengan dana besar dari APBD.

Padahal, Bengawan Solo bukan sungai biasa, ia melintasi kabupaten bahkan provinsi, dan berdasarkan aturan, pengelolaannya merupakan kewenangan penuh pemerintah pusat.

Namun yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Pemerintah daerah terlihat mengambil alih seluruh urusan, mulai dari penanganan darurat hingga pembangunan permanen, tanpa menunggu izin teknis atau rekomendasi resmi dari BBWS.

Langkah sepihak ini memunculkan banyak pertanyaan publik.
Apakah Pemkab Bojonegoro memiliki izin resmi dari BBWS Bengawan Solo?
Apakah sudah ada rencana induk teknis sebelum pekerjaan dilakukan?
Ataukah semua hanya karena keyakinan, “Kami punya uang, kami bisa”?

Bojonegoro dikenal sebagai daerah dengan kas daerah triliunan rupiah berkat hasil minyak dan gas. Namun kekayaan ini, menurut sejumlah pengamat, justru melahirkan “sindrom daerah sok kaya” gejala di mana pemerintah daerah merasa bisa mengerjakan segala hal, bahkan yang bukan urusannya secara hukum.

“Ketika uang dijadikan pembenar semua keputusan, akal sehat pengelolaan anggaran jadi korban,” ujar Bambang seorang pemerhati kebijakan publik ketika dimintai tanggapan.

Fenomena seperti ini, lanjutnya, sudah sering terjadi menjelang akhir tahun anggaran, ketika serapan APBD rendah. Tiba-tiba bermunculan proyek tanggap darurat di bantaran sungai, ada papan proyek, ada kontraktor, ada perintah cepat, tapi tanpa izin BBWS dan tanpa perencanaan matang.

Dalam beberapa kasus, dalih “tanggap darurat” sering digunakan sebagai jalan pintas menggelontorkan proyek miliaran rupiah, tanpa melalui mekanisme koordinasi dan kajian teknis yang seharusnya menjadi tanggung jawab pusat.

Contohnya, peristiwa ambruknya tanggul di Desa Lebaksari, Kecamatan Baureno, yang sempat ditangani Pemkab Bojonegoro.

Ketika tanggul itu kembali jebol, tak ada pihak yang jelas bertanggung jawab. Yang tersisa hanyalah APBD yang terkuras, sementara persoalan utama tetap tak terselesaikan.

“Ini bukan soal siapa yang peduli, tapi siapa yang berwenang. Tanpa dasar hukum dan koordinasi, semua tindakan bisa berubah jadi pelanggaran tata kelola,” tegas Bambang.

Secara formal, pemerintah daerah boleh membantu penanganan darurat. Namun bantuan itu harus dilakukan secara resmi melalui koordinasi dengan BBWS. Tanpa itu, langkah heroik Pemkab justru dianggap pseudo sinergi, tampak kompak di pemberitaan, tapi rapuh secara hukum.

Solidaritas tanpa aturan hanyalah ego kelembagaan yang dibungkus dengan jargon kepedulian. Dan ketika ego itu dipadukan dengan kekayaan fiskal, hasilnya adalah panggung politis mahal yang mengorbankan disiplin tata kelola anggaran.

Bojonegoro bukan kekurangan uang, tapi tengah diuji integritas dan kedewasaan pemerintahannya.

Kekayaan fiskal seharusnya membuat pengelolaan semakin transparan dan disiplin, bukan sebaliknya merasa bisa melakukan apa saja, bahkan di luar batas kewenangan.

Sebab pada akhirnya, pemerintah yang hebat bukan yang punya banyak proyek, tapi yang mampu mengelola uang publik dengan jujur dan sesuai aturan. (aj)