Beranda Nasional Dari Desa Kedungadem ke Panggung Nasional, Ini Perjalanan Penari Thengul Bojonegoro

Dari Desa Kedungadem ke Panggung Nasional, Ini Perjalanan Penari Thengul Bojonegoro

46f7de42 4e1a 4fdd a40b 3943a95f1428

BOJONEGORO – Bagi Moh. Anang Setyawan, menari bukan sekedar gerak tubuh mengikuti irama, tetapi napas kehidupan yang ia rawat dengan sepenuh jiwa.

Sosok guru sekaligus seniman tari asal Desa Kedungadem, Kecamatan Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro ini, menjadikan seni sebagai panggilan hati sekaligus ruang untuk merawat warisan budaya.

Di sela-sela kesibukannya mengajar di SMPN 5 Bojonegoro, Anang tampak sabar membimbing para siswanya.

Setiap langkah dan lenggokan tubuhnya begitu luwes, mencerminkan semangat serta cinta mendalam terhadap dunia tari yang telah ia tekuni sejak duduk di bangku taman kanak-kanak.

“Sejak TK saya sudah suka menari,” kenangnya.

Perjalanan itu berlanjut hingga ia menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, tempat di mana cintanya terhadap seni semakin tumbuh dan berakar kuat.

Kini, Anang bukan hanya guru, tetapi juga pembina Sanggar Tari Stratama SMPN 5 Bojonegoro, yang membawahi sekitar 150 penari muda berbakat.

Bagi Anang, mengajar tari bukan sekedar mengajarkan gerak, tetapi juga membentuk karakter.

“Ilmu kalau tidak dibagikan akan hilang. Saya ingin anak-anak punya ruang berekspresi dan percaya diri lewat gerak,” tuturnya.

Dari sekian banyak jenis tari yang ia kuasai tradisional, kreasi, hingga kontemporer, Anang punya satu kecintaan khusus yaitu Tari Thengul, tarian khas Bojonegoro yang menampilkan karakter mirip wayang hidup.

Ketertarikan itu bermula ketika ia mengikuti audisi pemilihan tari khas Bojonegoro dan berhasil menembus sepuluh besar terbaik lewat karakter Thengul.

“Tari Thengul itu unik. Geraknya seperti manusia yang dimainkan layaknya wayang. Ada ekspresi dan jiwa,” jelasnya.

Cinta itu kemudian ia wujudkan dengan menciptakan Tari Thengul versi kreasi baru. Dia menambahkan unsur cerita dan topeng sebagai elemen ekspresif, namun tetap menjaga nilai-nilai tradisi.

Menariknya, sebelum mengembangkan karyanya, dirinya terlebih dahulu meminta izin kepada pencipta tari Thengul asli, bentuk penghormatan yang menunjukkan dedikasinya pada budaya lokal.

Konsistensi Anang dalam dunia seni akhirnya berbuah manis. Ia berhasil meraih Juara 1 Pemuda Pelopor Bidang Seni dan Budaya Kabupaten Bojonegoro.

Melalui peran itu, ia terus mendorong generasi muda, terutama pelajar SMA/SMK, untuk mencintai seni, baik seni suara maupun tari sebagai media menumbuhkan nasionalisme dan karakter.

Salah satu karyanya yang paling berkesan adalah saat ia dipercaya menjadi pengarah acara Hari Sumpah Pemuda, menampilkan paduan suara dan tari Nusantara dari pelajar se-Bojonegoro. Penampilan itu sukses memukau dan mendapat apresiasi luas.

Meski sukses, jalan Anang tak selalu mulus. Ia mengakui sempat menerima pandangan sinis karena profesinya sebagai penari laki-laki.

“Banyak yang bilang, laki-laki kok menari. Tapi bagi saya, tari laki-laki tetap laki-laki, tari perempuan tetap perempuan. Yang penting profesional dan menjiwai,” tegasnya.

Dengan semangat itu, ia berusaha menumbuhkan keberanian bagi siswa laki-laki untuk tidak malu menari.

Menurutnya, seni adalah ruang untuk menempa disiplin, mental, dan karakter. “Kalau ingin jadi penari, harus siap lelah, siap jatuh, siap bangkit lagi,” ujarnya penuh motivasi.

Jejak langkah Anang bahkan sampai ke panggung nasional. Ia pernah tampil sebagai penari Tari Garuda di hadapan Presiden Joko Widodo dalam kegiatan Pramuka se-Indonesia di Malang.

Tak hanya itu, ia juga aktif mengikuti berbagai festival, termasuk ajang Indonesia Menari yang diadakan serentak di 12 titik, salah satunya di Surabaya pada 12 Oktober lalu.

Kini, Anang menjadi sosok penting dalam berbagai kegiatan kebudayaan di Bojonegoro.

Dirinya terus berperan aktif dalam pelestarian budaya daerah lewat pengajaran, pelatihan, dan pembinaan anak-anak muda berbakat.

Bagi Anang, menari adalah bahasa jiwa. “Setiap jiwa punya gerak tari sendiri. Kalau kamu suka menari, lakukan saja. Jangan malu,” pesannya.

Dengan ketulusan dan semangatnya, Anang Setyawan membuktikan bahwa menjaga budaya bukan hanya lewat kata, tapi lewat gerak yang terus hidup di setiap generasi. (aj)