LAMONGAN — Sudah berbulan-bulan lamanya, jalan nasional penghubung Sukodadi–Pucuk, Kabupaten Lamongan, tenggelam dalam kegelapan. Malam demi malam, ruas vital ini berubah menjadi jalur maut bagi siapa pun yang melintas. Tidak ada cahaya, tidak ada peringatan, hanya lubang, truk besar, dan nasib yang dipertaruhkan.
Penerangan Jalan Umum (PJU) yang seharusnya memberikan rasa aman mati total. Ironisnya, hingga kini tak ada kepastian kapan akan diperbaiki.
“Setiap malam kami seperti jalan di kuburan. Tidak tahu ada lubang, tidak tahu ada kendaraan nyalip. Serem banget,” ujar Syahroni, sopir truk asal Gresik, Kamis (16/10/2025).
Yang membuat miris, jalan ini bukan jalur kecil. Ini jalur nasional yang dilalui ratusan kendaraan setiap hari, termasuk angkutan logistik besar. Tapi meski vital, kondisinya dibiarkan gelap gulita tanpa perawatan.
Warga menyebut, lampu jalan sudah rusak jauh sebelum cuaca ekstrem menerjang Lamongan Timur, namun alasan “bencana alam” terus dijadikan dalih klasik oleh dinas terkait.
“Sudah lama lampu-lampu itu mati, bahkan sebelum hujan besar. Tapi selalu alasannya cuaca,” kata Ali warga Desa Sukodadi.
Pihak Dinas Perhubungan Lamongan melalui Kabid Penerangan Jalan, M. Lubis, mengaku telah menerima laporan dan akan melakukan pengecekan. Namun hingga berita ini ditayangkan, belum ada tindakan nyata di lapangan.
“Kami sudah menerima laporan dan akan melakukan pengecekan,” ujarnya singkat.
Sayangnya, jawaban itu terdengar seperti template klise yang sudah terlalu sering diucapkan. Tanpa jadwal, tanpa strategi pemulihan, tanpa kejelasan. Sementara itu, malam terus datang, dan risiko kecelakaan terus menghantui.
Ironi makin terasa ketika Pemkab Lamongan tengah gencar mengusung kampanye “Lamongan Menyala” semboyan tentang penerangan dan pembangunan infrastruktur. Namun kenyataannya, jalur vital Sukodadi–Pucuk justru tenggelam dalam gelap pekat.
“Lucu saja, katanya Lamongan Menyala, tapi jalan nasional malah mati lampu. Nyata sekali, yang menyala cuma spanduknya,” sindir Arif seorang warga Pucuk.
Kemarahan warga kian memuncak. Jika tidak ada langkah konkret dalam waktu dekat, sejumlah warga berencana melaporkan persoalan ini ke Kementerian Perhubungan dan Ombudsman RI.
“Ini bukan soal lampu, ini soal nyawa. Kalau terus dibiarkan, kami siap menempuh jalur hukum,” tegasnya.
Masalah penerangan ini bukan sekedar urusan teknis, melainkan cerminan dari lemahnya prioritas pemerintah terhadap keselamatan publik.
Warga tidak meminta fasilitas mewah mereka hanya ingin rasa aman saat melintas di jalan negara.
Namun, selama lampu-lampu itu tetap padam, gelap bukan hanya menyelimuti jalan, tapi juga kepedulian pemerintah terhadap rakyatnya.
Kondisi Sukodadi–Pucuk memperlihatkan fakta pahit, pemerintah daerah masih lemah dalam pemeliharaan infrastruktur dasar.
Padahal, jalan ini berstatus nasional dan menjadi urat nadi pergerakan ekonomi dari Lamongan ke wilayah selatan.
Minimnya tindak lanjut, birokrasi yang lambat, dan jawaban normatif pejabat hanya menambah daftar panjang masalah klasik infrastruktur di daerah. (Bup)

























