CB, LAMONGAN – Malam hari di jalur nasional Sukodadi–Pucuk kini tak ubahnya lorong kematian. Jalan poros penghubung antarwilayah ini gelap gulita, sunyi, dan tak bersahabat.
Penerangan Jalan Umum (PJU) yang seharusnya menjadi pelita bagi pengendara justru padam tanpa kejelasan kapan akan menyala kembali.
Ini bukan sekadar kelalaian teknis ini adalah cerminan telanjang dari betapa keselamatan rakyat bisa dianggap remeh oleh mereka yang berkewajiban menjaga.
Sudah berbulan-bulan masyarakat yang melintasi jalan ini dibuat resah. Setiap malam, pengendara baik roda dua maupun truk besar dipaksa berjudi dengan nasib.
Di tengah lalu lintas yang padat dan kondisi jalan yang tak sempurna, padamnya lampu jalan menjadikan Sukodadi–Pucuk seperti perangkap maut yang menanti korban berikutnya.
“Kami seperti berjalan di lorong tak berujung. Tidak tahu ada lubang, tidak tahu ada kendaraan dari arah berlawanan. Seringkali hampir celaka,” keluh Syahroni, seorang sopir truk asal Gresik yang saban hari melintas di jalur ini.
Ironisnya, kerusakan PJU yang terjadi bukan semata-mata disebabkan angin kencang yang sempat melanda Lamongan Timur.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar lampu jalan di jalur ini sudah lama padam bahkan sebelum bencana terjadi. Artinya, ini bukan kerusakan mendadak ini adalah akumulasi dari pembiaran.
Kepala Bidang Penerangan Jalan Dinas Perhubungan Lamongan, M. Lubis, memang mengonfirmasi adanya kerusakan jaringan akibat cuaca ekstrem.
Namun publik bertanya, di mana pengawasan dan pemeliharaan rutin selama ini? Mengapa butuh musibah untuk menyadari bahwa penerangan jalan adalah kebutuhan dasar, bukan fasilitas tambahan?
“Kami sudah menerima laporan, dan tim akan segera melakukan pengecekan,” ujar Lubis singkat pernyataan yang terdengar lebih seperti formalitas daripada solusi konkret.
Di balik janji manis itu, tak ada kepastian. Tak ada tenggat waktu. Tak ada kejelasan strategi pemulihan. Padahal, setiap malam keterlambatan itu bisa berarti nyawa.
Beberapa kecelakaan lalu lintas sudah terjadi, dan meski tidak semua bisa dikaitkan langsung dengan padamnya lampu, gelapnya jalur tentu memperbesar risikonya.
Pemerintah Kabupaten Lamongan saat ini tengah gencar mengusung program “Lamongan Menyala”, sebuah kampanye untuk menambah titik-titik PJU di berbagai kawasan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan kontradiksi mencolok.
Apa gunanya pemasangan baru jika lampu-lampu yang sudah ada dibiarkan rusak? Apa makna dari slogan manis jika kenyataan di jalan menunjukkan sebaliknya?
Warga dan pengguna jalan tak butuh janji manis, mereka butuh tindakan nyata. Jalan poros Sukodadi–Pucuk adalah urat nadi mobilitas warga dan distribusi barang.
Mengabaikannya sama dengan mengorbankan denyut ekonomi dan keselamatan masyarakat sendiri.
“Kalau dalam waktu dekat PJU masih gelap tanpa kepastian perbaikan, kami tidak segan untuk melaporkan ke pemerintah pusat. Ini sudah kelewatan,” tegas salah satu warga yang kerap melintasi jalur tersebut.
Apa yang terjadi di jalur Sukodadi–Pucuk bukan hanya soal lampu padam. Ini adalah gejala dari kebutaan sistemik, di mana pengawasan lemah, tanggung jawab terabaikan, dan suara rakyat hanya dianggap sebagai angin lalu.
Padahal pemerintah daerah seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjamin hak dasar masyarakat termasuk hak untuk merasa aman saat berada di jalan raya.
Kegelapan yang menyelimuti jalan itu sejatinya adalah simbol dari gelapnya komitmen terhadap keselamatan publik.
Dan selama tidak ada langkah tegas, maka setiap malam di jalan Sukodadi–Pucuk akan terus menjadi mimpi buruk bagi siapa pun yang melintas. (*)
























