MEDIA CAHAYA BARU – Bayangkan sebuah perusahaan ritel besar yang setiap harinya melayani jutaan transaksi.
Dahulu, arus kas perusahaan ini sangat bergantung pada pembayaran tunai dan transfer bank konvensional.
Kini, peta bisnis berubah drastis: lebih dari 70% transaksi dilakukan melalui dompet digital, QRIS, hingga buy now pay later (BNPL).
Perubahan ini tidak hanya soal cara membayar, tetapi juga cara perusahaan mengelola keuangannya.
Pertanyaannya, siapkah manajemen keuangan perusahaan menghadapi era digital payment yang serba cepat, transparan, sekaligus penuh risiko?
Transformasi digital di sektor keuangan membawa dampak signifikan bagi perusahaan.
Berdasarkan proyeksi industri yang dilaporkan Katadata, nilai transaksi uang elektronik di Indonesia diperkirakan menembus Rp2.000 triliun pada 2025.
Pertumbuhan eksponensial ini menandakan bahwa digital payment bukan lagi sekadar tren, melainkan kebutuhan operasional.
Namun, arus kas yang sebelumnya bisa diprediksi lebih stabil kini menjadi semakin kompleks.
Perusahaan harus menghadapi biaya merchant discount rate (MDR), risiko kebocoran data, potensi fraud digital, hingga perubahan perilaku konsumen yang semakin mengandalkan cicilan instan seperti BNPL.
Masalah lain adalah kesenjangan adaptasi. Banyak perusahaan besar mampu mengintegrasikan digital payment gateway dengan sistem Enterprise Resource Planning (ERP), sementara UMKM sering kali kesulitan mencatat transaksi digital secara akurat.
Akibatnya, muncul potensi mismatch antara realisasi keuangan dengan pencatatan dalam laporan keuangan.
Di satu sisi, digital payment memberikan peluang besar bagi perusahaan. Transparansi transaksi meningkat karena semua kegiatan tercatat otomatis dalam sistem.
Perusahaan juga dapat memanfaatkan big data dari pola pembayaran konsumen untuk menyusun strategi pemasaran yang lebih efektif.
Selain itu, digital payment mempercepat siklus kas, yang berarti perusahaan bisa mengelola modal kerja lebih efisien.
Namun, di sisi lain, ada tantangan serius. Pertama, risiko keamanan data dan fraud. Laporan PwC Global Economic Crime and Fraud Survey 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 40% perusahaan global pernah mengalami kejahatan siber terkait pembayaran digital.
Kedua, ketergantungan pada infrastruktur digital. Gangguan server atau kegagalan sistem pembayaran bisa melumpuhkan arus kas harian.
Ketiga, regulasi yang terus berkembang. Misalnya, BI dan OJK terus memperketat aturan terkait keamanan data, integrasi QRIS, dan pelaporan transaksi digital.
Dari perspektif manajemen keuangan, tantangan terbesar adalah perubahan pola likuiditas.
Jika dulu transaksi tunai bisa langsung digunakan, kini ada jeda settlement antara penyedia layanan pembayaran dan perusahaan.
Bagi perusahaan dengan arus kas ketat, delay satu atau dua hari saja bisa mengganggu likuiditas operasional.
Meski begitu, jika dikelola dengan tepat, digital payment dapat menjadi leverage strategis.
Contohnya, GoTo dan Shopee memanfaatkan layanan dompet digital bukan hanya sebagai alat pembayaran, tetapi juga sebagai instrumen pengelolaan dana dan customer engagement.
Perusahaan-perusahaan ini berhasil memonetisasi data keuangan menjadi sumber keuntungan baru.
Apa yang harus dilakukan perusahaan?
Pertama, integrasi sistem keuangan digital. Perusahaan harus memastikan bahwa setiap transaksi digital langsung tercatat dalam sistem akuntansi.
Ini bisa dicapai dengan menghubungkan payment gateway ke ERP atau software akuntansi berbasis cloud.
Kedua, penguatan manajemen risiko digital. Perusahaan wajib berinvestasi pada keamanan siber, enkripsi data, dan sistem deteksi fraud.
Tidak kalah penting, literasi digital bagi karyawan keuangan juga harus ditingkatkan.
Ketiga, diversifikasi instrumen pembayaran. Jangan hanya mengandalkan satu platform. Semakin beragam kanal pembayaran, semakin kecil risiko tergantung pada satu sistem yang mungkin bermasalah.
Keempat, kolaborasi dengan regulator dan fintech. Perusahaan perlu aktif mengikuti kebijakan BI dan OJK agar tidak tertinggal dari sisi kepatuhan.
Kolaborasi juga membuka peluang inovasi, misalnya integrasi sistem keuangan perusahaan dengan layanan digital banking berbasis syariah yang kini mulai berkembang.
Era digital payment bukan ancaman, melainkan peluang untuk mengubah manajemen keuangan perusahaan menjadi lebih modern, transparan, dan responsif.
Tantangannya nyata, risiko fraud, keterlambatan settlement, hingga regulasi yang dinamis.
Namun, dengan strategi integrasi sistem, penguatan keamanan, dan kolaborasi lintas sektor, perusahaan bisa menjadikan digital payment sebagai motor pertumbuhan keuangan jangka panjang.
Pada akhirnya, pertanyaan bagi perusahaan bukan lagi “apakah perlu beradaptasi dengan digital payment?”, melainkan “seberapa cepat kita bisa beradaptasi agar tetap relevan?”.
Penulis : Shilla Khairani Putri
NIM : 2410101059
Mata Kuliah : Manajemen Keuangan Perusahaan
UNIVERSITAS ISLAM TAZKIA BOGOR