SURAKARTA – Malam Minggu (7/9/2025) menjadi catatan penting bagi Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Di Pawon Gondorasan, sebuah prosesi sakral Adhang Tahun Dal 1959 Jawa digelar penuh khidmat.
Tradisi yang hanya muncul sekali dalam delapan tahun ini semakin bermakna karena dipimpin langsung oleh SISKS Pakoe Boewono XIII bersama GKR Pakoe Boewono.
Adhang Tahun Dal bukan sekadar ritual budaya. Ia menyimpan makna spiritual dan historis mendalam, diwariskan turun-temurun dari leluhur Karaton.
Kehadirannya hanya bisa disaksikan di Tahun Dal dalam siklus penanggalan Jawa, menjadikannya peristiwa langka sekaligus dinantikan masyarakat.
Prosesi dimulai ketika PB XIII menyalakan tungku pusaka di Pawon Gondorasan. Asap kayu bakar yang mengepul dan nyala api seketika menghadirkan suasana magis.
Api tersebut digunakan untuk memasak nasi dalam dandhang pusaka, peninggalan Ki Ageng Tarub yang hingga kini masih dijaga sebagai Kagungan Dalem Karaton.
Ada tiga dandhang pusaka yang dipercaya sarat makna, yakni Kyai Dhudha, Kyai Godrag, dan Kyai Rejeki. Bagi Karaton, dandhang bukan hanya wadah memasak, tetapi simbol berkah, rejeki, dan kelangsungan hidup.
Malam itu, GKR Timoer Rumbai menanak nasi menggunakan dandhang pusaka, sementara lantunan shalawat Nabi menggema dari para abdi dalem. Suasana menjadi syahdu, penuh rasa syukur, dan sarat nuansa spiritual.
Begitu nasi matang, prosesi dilanjutkan dengan pembagian kepada abdi dalem. Bagi mereka, menerima nasi dari Adhang Tahun Dal bukan sekadar makan, melainkan berkah yang diyakini membawa keselamatan dan rejeki.
“Prosesi ini semakin sakral karena dipimpin langsung oleh Sampeyan Dalem PB XIII. Kehadiran beliau tidak hanya simbol kepemimpinan, tapi juga teladan spiritual,” tutur KPA Dani Nur Adhiningrat, Pengageng Sasana Wilapa Karaton Surakarta.
KPA Dani menekankan, tradisi ini lebih dari sekadar acara seremonial. Adhang Tahun Dal adalah ruang pembelajaran budaya sekaligus spiritual.
“Api yang dinyalakan PB XIII melambangkan semangat hidup, dandhang pusaka mencerminkan rejeki yang terus mengalir, dan nasi yang dibagikan adalah wujud syukur serta kepedulian. Generasi muda perlu memahami bahwa tradisi seperti ini adalah identitas bangsa yang tidak boleh hilang ditelan arus zaman,” jelasnya.
Dengan terselenggaranya Hajad Dalem Adhang Tahun Dal 1959 ini, Karaton Surakarta kembali menegaskan perannya sebagai penjaga budaya Jawa.
Tradisi delapan tahunan ini menjadi bukti nyata bahwa warisan leluhur bukan hanya benda pusaka, tetapi juga nilai kehidupan tentang syukur, kebersamaan, dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Bagi masyarakat, prosesi ini menjadi pengingat bahwa di balik tradisi, tersimpan pesan universal: hidup dengan rasa syukur, peduli sesama, serta menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. (Den)