Beranda Infotaiment Acara Pensiun Kepala Dinas Pendidikan Lamongan di Bali, Semua SMPN Dipalak

Acara Pensiun Kepala Dinas Pendidikan Lamongan di Bali, Semua SMPN Dipalak

Img 20250727 wa0007

LAMONGAN — Dunia pendidikan di Kabupaten Lamongan kembali menjadi sorotan. Kali ini, terkait acara pelepasan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan, Munif Syarif, yang digelar dengan megah di Bali pada 11–13 Juli 2025 lalu.

Ironisnya, kemewahan acara tersebut diduga justru menjadi beban bagi puluhan sekolah di daerah.

Salah seorang guru di salah satu SMP Negeri Lamongan, yang berinisial W, membongkar fakta mencengangkan.

Ia menyebut bahwa seluruh kepala sekolah dan pengawas SMPN di Lamongan diwajibkan mengikuti acara di Bali, termasuk menyetorkan biaya yang tidak sedikit.

“Biayanya Rp2.500.000 per sekolah, dan itu wajib dibayar meskipun kepala sekolah tidak ikut berangkat,” ungkap W, Sabtu (26/07/2025).

Menurut sumber tersebut, tidak ada ruang bagi sekolah untuk menolak. Perintah datang secara terstruktur, dan semua sekolah negeri harus patuh. Tak peduli kondisi keuangan sekolah atau program pendidikan yang harus dikorbankan.

Kebijakan tersebut jelas bertolak belakang dengan arahan pemerintah pusat yang gencar mendorong efisiensi dan penghematan anggaran, apalagi dalam sektor pendidikan yang seharusnya mengedepankan kepentingan siswa dan mutu pembelajaran.

Namun, semangat efisiensi tampaknya tidak berlaku di Lamongan. Acara pelepasan purna tugas seorang pejabat justru digelar jauh di Bali, menghabiskan waktu tiga hari dan diduga dibiayai secara gotong royong oleh seluruh sekolah negeri.

Padahal, di banyak daerah, pelepasan pejabat cukup dilakukan sederhana di kantor dinas atau aula pemerintah daerah, tanpa membebani satuan pendidikan.

Praktik ini patut dicurigai sebagai bentuk penyimpangan kewenangan atau bahkan pungutan liar (pungli), karena tidak memiliki dasar regulasi yang jelas.

Terlebih, dana yang dihimpun tidak melalui mekanisme resmi atau musyawarah bersama.

Arif warga Lamongan yang juga pemerhati kebijakan anggaran memberikan sorotan, jika benar dana yang dikumpulkan berasal dari anggaran sekolah, maka hal itu juga berpotensi menabrak aturan penggunaan dana BOS dan dana operasional lainnya, yang seharusnya diprioritaskan untuk mendukung proses belajar mengajar.

“Kami minta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Inspektorat Provinsi, dan Aparat Penegak Hukum (APH) segera turun tangan. Jangan sampai praktik seperti ini terus berulang dan merusak dunia pendidikan kita,” tegasnya.

Kejadian ini menambah daftar panjang ironi dalam dunia pendidikan. Ketika sekolah-sekolah masih kesulitan meningkatkan kualitas pengajaran, kekurangan fasilitas, dan menghadapi keterbatasan anggaran, justru dipaksa membayar “iuran” untuk acara mewah seorang pejabat.

Bukankah lebih bijak jika dana sebesar itu digunakan untuk membeli buku, memperbaiki ruang kelas, atau membiayai pelatihan guru.

Acara pelepasan Kepala Dinas Pendidikan Lamongan di Bali kini berubah menjadi kontroversi. Dugaan adanya pungutan wajib sebesar Rp2,5 juta kepada setiap SMP Negeri, baik yang ikut maupun tidak, telah mencederai rasa keadilan dan semangat reformasi birokrasi di sektor pendidikan.

Jika tidak segera diusut, dikhawatirkan hal ini menjadi preseden buruk dan mencoreng citra dunia pendidikan Kabupaten Lamongan. (Bup)