Beranda Infotaiment Oknum Pemuka Agama di Blitar Diduga Cabuli Anak di Bawah Umur

Oknum Pemuka Agama di Blitar Diduga Cabuli Anak di Bawah Umur

Img 20250717 wa0000

SURABAYA – Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) berhasil membongkar kasus asusila yang dilakukan oleh seorang tokoh agama berinisial DBH (67) terhadap anak-anak di bawah umur.

Ironisnya, aksi bejat ini dilakukan secara diam-diam selama kurun waktu dua tahun, dari 2022 hingga 2024, dan baru terungkap setelah adanya laporan dari orang tua korban.

DBH kini mendekam di sel tahanan Polda Jatim sejak 11 Juli 2025. Ia dijerat dengan Pasal 82 Jo Pasal 76E dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda hingga Rp5 miliar.

Konferensi pers digelar di Mapolda Jatim pada Rabu (16/7/2025), dipimpin langsung oleh Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Jules Abraham Abast. Dalam keterangannya, Kombes Abast membeberkan bahwa tersangka memanfaatkan kedekatannya dengan para korban.

Ia kerap mengajak anak-anak tersebut melakukan aktivitas di luar rumah, seperti berjalan-jalan dan berenang, sebelum akhirnya melakukan aksi cabulnya.

“Modusnya sangat halus. Tersangka dikenal dekat dengan korban dan dipercaya oleh lingkungan sekitar. Ini yang membuat korban tidak segera berani melapor,” terang Kombes Abast.

Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan dukungan penuh terhadap langkah tegas Polda Jatim.

Asisten Deputi Penyediaan Layanan Anak, Ciput Eka Purwianti, mengapresiasi kecepatan aparat dalam mengusut kasus yang dianggap sangat sensitif ini.

“Kami sangat menghargai keberanian dan ketegasan Kapolda Jatim dan jajaran Ditreskrimum. Ini menjadi bentuk nyata keberpihakan pada korban kekerasan seksual, khususnya anak-anak,” ujar Ciput.

Ia juga menegaskan bahwa saat ini keempat korban telah berada di bawah perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta KemenPPPA.

Proses hukum terhadap pelaku diharapkan berjalan cepat demi keadilan dan pemulihan psikologis anak-anak tersebut.

Ciput menyoroti bahwa kasus ini bukan hanya soal kejahatan seksual biasa, tetapi juga terkait relasi kuasa, di mana pelaku menggunakan pengaruh sosial dan keagamaan untuk mengontrol korban.

“Banyak korban yang takut bersuara karena pelakunya adalah tokoh yang dihormati. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang awalnya tidak percaya pada pengakuan anaknya,” ungkapnya.

Ia mengajak masyarakat untuk mulai berpihak pada perspektif korban. “Dalam UU TPKS, kita harus percaya pada apa yang disampaikan korban. Perspektif korban itu kunci. Jangan sampai kita justru membungkam mereka,” tegas Ciput.

Kasus ini menjadi peringatan keras bagi semua pihak bahwa kejahatan seksual bisa terjadi di mana saja bahkan di balik jubah kehormatan.

Kepolisian berjanji akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas dan memberikan efek jera bagi pelaku-pelaku kekerasan seksual terhadap anak. (Sam)