BOJONEGORO – Acara Haflah Akhirussanah yang digelar oleh Madrasah Ibtidaiyah (MI) Miftahul Huda, Desa Lengkong, Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro mulai 17 Juni hingga 21 Juni 2025, menuai sorotan dari para wali murid.
Bukan karena kemeriahan atau prestasi, tetapi karena banyaknya agenda yang dianggap terlalu mewah dan membebani keuangan orang tua siswa.
Digelar selama empat hari empat malam, Haflah yang semula dimaksudkan sebagai momen perpisahan dan perayaan kelulusan justru meninggalkan beban ekonomi bagi sejumlah wali murid.
Mulai dari bazar, pentas seni, sepeda hias, hingga sesi rias salon yang diwajibkan untuk anak-anak, semuanya menuntut biaya tambahan yang tidak sedikit.
Salah satu wali murid dari Desa Kedungdowo yang enggan disebut namanya karena takut ada intimidasi angkat bicara.
Ia mengaku stres karena biaya yang harus dikeluarkan bertubi-tubi dalam waktu yang berdekatan.
“Kegiatannya banyak sekali, Mas. Ada bazar, pentas seni, sepeda hias. Setiap kegiatan pasti butuh kostum dan riasan. Anak saya perempuan, jadi ya harus ke salon,” keluhnya dengan nada kecewa, Kamis (19/6/2025).
Wali murid tersebut juga mengungkapkan bahwa tidak hanya kelas VI yang mengikuti acara pelepasan, melainkan juga siswa-siswi dari KB, RA B, dan TK.
“Semuanya harus tampil maksimal, katanya harus dirias. Padahal salonnya juga bukan yang murah. Ini kegiatan sekolah atau pesta pernikahan,” tambahnya.
Banyak orang tua merasa kegiatan semacam ini tidak lagi mencerminkan nilai-nilai kesederhanaan dalam pendidikan Islam, melainkan berubah menjadi ajang glamor yang meniru kemewahan dunia hiburan.
“Haflah itu seharusnya sederhana, hikmat, dan penuh syukur. Tapi ini kok seperti show empat hari empat malam,” kritik wali murid lainnya.
Biaya yang membengkak untuk rias, kostum, dekorasi, konsumsi, bahkan transportasi dalam rangkaian kegiatan itu menjadi tekanan tersendiri bagi keluarga yang berpenghasilan pas-pasan.
Apalagi, kegiatan ini berlangsung di masa ketika kebutuhan pokok terus melonjak dan banyak buwuhan.
Sejumlah wali murid berharap pihak sekolah lebih bijak dalam menyusun agenda kegiatan, agar tetap meriah tanpa harus menyulitkan para orang tua.
Mereka juga berharap tidak semua hal harus “dibisniskan” dan dibebankan kepada wali murid, apalagi dalam bentuk yang tak terlalu esensial seperti salon dan kostum mahal.
“Kami bukan menolak Haflah, tapi tolong disesuaikan dengan kondisi ekonomi kami. Jangan sampai sekolah justru menciptakan kesenjangan dan tekanan sosial,” pungkas salah satu wali murid. (Er)