Beranda Daerah Biaya PTSL di Ngadiluhor Bojonegoro Tembus Rp 650 Ribu

Biaya PTSL di Ngadiluhor Bojonegoro Tembus Rp 650 Ribu

Img 20250619 wa0023

BOJONEGORO – Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang seharusnya menjadi angin segar bagi masyarakat kini justru memicu kegelisahan.

Warga Desa Ngadiluhor, Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro mengeluhkan besarnya biaya PTSL yang ditarik hingga Rp 650.000 per bidang, jauh melampaui ketentuan resmi yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri.

Lebih ironis, saat awak media mencoba meminta klarifikasi, Kepala Desa Ngadiluhor memilih bungkam dan tidak memberikan satu pun komentar.

Dihubungi melalui aplikasi WhatsApp, sang Kades tidak merespon pertanyaan seputar dasar regulasi biaya fantastis tersebut.

Mengacu pada SKB 3 Menteri (ATR/BPN, Kemendagri, dan Kemendes PDTT), biaya maksimal untuk program PTSL di wilayah Jawa hanya sebesar Rp 150.000 per bidang.

Biaya itu sudah mencakup operasional, pemasangan patok, pengumpulan dokumen, dan hal teknis lainnya di tingkat desa.

Namun, dalam praktiknya di Desa Ngadiluhor, para pemohon PTSL mengaku diminta membayar hingga lebih dari empat kali lipat dari ketentuan tersebut.

Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar, kemana saja aliran dana yang ditarik dari masyarakat itu, siapa yang bertanggung jawab.

“Saya bayar Rp 650.000 per bidang. Katanya untuk ini itu, tapi tidak ada penjelasan detail,” ungkap salah satu warga setempat.

Sikap diam Kepala Desa justru memperkuat kecurigaan publik. Mengapa seorang kepala desa enggan menjelaskan secara terbuka soal anggaran yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak.

Apalagi, program PTSL ini dilaksanakan atas nama program strategis nasional yang tujuannya adalah mempermudah rakyat mendapatkan sertifikat tanah secara murah, cepat, dan legal.

Sayangnya, harapan itu kini berubah menjadi beban yang justru menambah derita ekonomi warga.

Publik mendesak agar Pemerintah Kabupaten Bojonegoro segera turun tangan, melakukan investigasi menyeluruh, dan memastikan bahwa tidak ada praktik pungutan liar atau penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan PTSL di Ngadiluhor.

Jika benar ditemukan adanya penyimpangan, langkah hukum harus segera diambil, demi menjaga marwah program nasional dan hak rakyat untuk mendapat layanan publik yang adil dan transparan.

“Kalau dibiarkan, ini jadi preseden buruk. Program rakyat justru dijadikan ladang kepentingan pribadi,” tegas salah satu tokoh masyarakat setempat, Kamis (19/6/2025).

Diamnya Kepala Desa Ngadiluhor dalam isu krusial ini bukan hanya soal etika publik, tapi juga soal kepercayaan rakyat terhadap aparatur desa. Tanpa kejelasan dan keterbukaan, dugaan praktik menyimpang semakin sulit ditepis.

Sudah saatnya pemerintah daerah dan instansi terkait menindak tegas pihak-pihak yang bermain-main dalam program rakyat. PTSL harus kembali ke jalur semestinya, murah, cepat, dan tanpa pungli. (Er)