BOJONEGORO – Aktivitas tambang galian C yang diduga ilegal di Desa Katur, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, masih terus berlangsung tanpa hambatan, meskipun sudah berulang kali diprotes warga setempat dan sempat viral di media sosial.
Setiap hari, puluhan truk terlihat mengantri untuk mengangkut tanah hasil dari galian tersebut, seolah tidak ada aturan yang berlaku di sana.
Warga yang tinggal di sekitar lokasi tambang mengaku sangat dirugikan dengan adanya aktivitas pengerukan tanah ini.
Lingkungan rusak, jalan-jalan penuh debu dan lumpur, serta potensi bahaya longsor mengintai mereka setiap saat.
Namun suara mereka seperti tak berarti, karena tambang terus berjalan lancar tanpa hambatan.
Ironisnya, di balik kerusakan ekosistem dan keresahan warga, tambang ini justru jadi ladang penghasilan bagi sebagian orang.
Para sopir truk, misalnya, bisa mencukupi kebutuhan keluarga dari upah mengangkut tanah. Belum lagi para pekerja yang diperbantukan di area tambang.
Aktivitas ini memang membuka banyak lapangan pekerjaan, tapi apakah sebanding dengan kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial.
Yang membuat situasi ini makin pelik adalah dugaan adanya “orang kuat” di balik tambang ini.
Kabar yang beredar menyebutkan bahwa pemilik tambang merupakan seseorang yang memiliki jabatan penting di pemerintahan desa.
Dugaan inilah yang membuat masyarakat semakin frustrasi, karena merasa tak punya daya untuk melawan.
“Kalau pemilik tambang punya jabatan dan uang, semua dibiarkan dan aman,” ujar Mustakim salah satu warga setempat saat ngobrol diwarung kopi, Selasa (10/6/2025).
Aparat penegak hukum pun seolah menutup mata. Padahal, keberadaan tambang ini diduga belum mengantongi izin resmi alias ilegal karena tidak terlihat papan yang menunjukkan perizinannya.
Banyak pihak menduga ada pertimbangan lain mengapa aparat enggan turun tangan. Apakah karena tekanan dari pihak tertentu, atau ada sesuatu yang membuat mereka memilih diam.
Sampai saat ini, belum ada tindakan nyata dari pemerintah daerah maupun kepolisian untuk menghentikan aktivitas galian ini.
Protes warga hanya sebatas angin lalu. Bahkan, setelah sempat ramai di media sosial, tak ada satu pun kebijakan yang berhasil menghentikan operasi tambang ini.
Warga hanya bisa mengelus dada dan menggigit jari, melihat tanah mereka terus dikeruk demi keuntungan segelintir orang.
Mereka merasa dipaksa untuk menerima kenyataan pahit, keadilan bisa dibeli, dan suara rakyat kalah oleh uang dan kekuasaan. (Er)