SURABAYA – Forum Pegiat Kesenian Surabaya (FPKS) siap menghidupkan kembali semangat budaya Arek dalam sebuah pergelaran seni bertajuk Surabaya Hari Ini yang akan digelar pada 13 Mei 2025 pukul 19.00 WIB di Teras Dewan Kesenian Surabaya (DKS), Kompleks Balai Pemuda, Jalan Gubernur Suryo 15, Surabaya.
Dalam pertunjukan perdananya ini, FPKS menghadirkan berbagai seniman lintas generasi yang akan tampil melalui beragam ekspresi seni mulai dari pembacaan puisi, monolog, hingga musik.
Penampilan mereka tidak hanya menjadi panggung seni semata, tetapi juga panggilan untuk membangkitkan kembali nilai-nilai khas masyarakat Surabaya: egaliter dan guyub.
Para penyair kenamaan seperti Widodo Basuki, Aming Aminoedhin, Imung Mulyanto, hingga Tengsoe Tjahjono akan membacakan karya-karya mereka bersama generasi muda seperti Igomarvel, Autar Abdillah, dan Nanda Alifya Rahmah.
Sementara itu, aksi monolog akan dibawakan oleh Meimura dan Dody Yan Masfa, dua seniman teater yang telah lama berkarya di Surabaya.
Tak hanya puisi dan teater, acara ini juga diramaikan oleh penampilan musik dari berbagai genre, antara lain B Jon, Pardi Artin, Prof.
Rubi Castubi, Arul Lamandau, serta POSS Ensemble besutan Heru Prasetyono. Keseluruhan acara akan dipandu dengan penuh semangat oleh Desemba.
Salah satu momen penting malam itu adalah penyampaian Pidato Kebudayaan oleh Kuncarsono Prasetyo dari Begandring, yang akan menyoroti situasi sosial-budaya “Surabaya Hari Ini”.
Menurut Jil Kalaran, penggagas FPKS, tema acara ini sengaja diangkat sebagai ajakan untuk kembali merawat identitas budaya khas Surabaya, Budaya Arek.
Budaya ini mencerminkan watak egaliter dan semangat gotong royong yang tumbuh kuat di masyarakat urban Surabaya dan sekitarnya.
“Budaya Arek ini bukan sekadar label. Ia adalah jiwa sosial masyarakat Surabaya. Kesetaraan dan solidaritas itu bukan hanya nilai masa lalu, tapi juga bekal kita menghadapi masa depan,” ujar Jil, mantan wartawan Surabaya Post.
Dalam konteks antropologis, watak egaliter masyarakat Arek tampak dalam gaya interaksi yang terbuka dan setara.
Penyebutan “rek” yang khas menjadi simbol relasi sosial yang anti hierarki.
Sementara gotong royong menjadi modal sosial penting dari kerja bakti hingga solidaritas saat bencana, nilai ini mengikat masyarakat dalam satu rasa dan tujuan.
“Surabaya adalah kota yang terus tumbuh. Tapi pertumbuhan itu harus tetap punya akar. Dan akar kita adalah Budaya Arek,” pungkas Jil.
Acara ini bukan hanya perayaan seni, tetapi juga penegasan bahwa budaya lokal tak boleh terlupakan di tengah dinamika kota yang makin modern dan individualistik.
Melalui FPKS, suara-suara Arek kembali menggema: lantang, hangat, dan membumi. (Red)