LAMONGAN – Alih-alih menjadi solusi, langkah digitalisasi pengadaan barang dan jasa yang digembar-gemborkan Pemerintah Kabupaten Lamongan justru menuai tanda tanya besar.
Langkah ini diklaim untuk menciptakan efisiensi dan transparansi, namun sejumlah pihak mulai mempertanyakan kesiapan infrastruktur dan kesiapan sumber daya manusia dalam pelaksanaannya.
Menggandeng platform Mbizmarket, Pemkab Lamongan membuka pintu selebar-lebarnya bagi sistem belanja digital.
Tapi di balik layar, muncul kekhawatiran akan potensi kebocoran data, ketimpangan akses teknologi, hingga eksklusi pelaku usaha lokal yang belum melek digital.
“Jangan sampai yang terjadi justru pengalihan masalah lama ke sistem baru yang belum matang. Birokrasi berbelit bisa saja tetap ada, hanya saja berpindah ke layar komputer,” ujar Abdurrayid seorang pengamat kebijakan publik, Rabu (7/5/2025).
Alih-alih memangkas celah transaksi informal, digitalisasi yang tergesa-gesa bisa menciptakan celah baru yang tak kalah rawan.
Apalagi jika pengawasan tidak berjalan seiring dengan penerapan teknologi.
Pemkab Lamongan mengklaim ingin memberdayakan UMKM dan BUMD lewat sistem digital ini.
Namun di lapangan, banyak pelaku usaha kecil mengaku belum paham alur dan prosedur digital baru yang mulai diterapkan.
Ketimpangan informasi dan keterbatasan pelatihan menjadi tembok penghalang partisipasi mereka.
Jika terus dipaksakan tanpa kesiapan, digitalisasi ini justru berpotensi memperbesar kesenjangan, bukan menyempitkannya.
Bukannya memperkuat Pendapatan Asli Daerah, justru bisa menurunkan partisipasi lokal akibat sistem yang tidak inklusif.
Lamongan mungkin ingin tampil sebagai pelopor e-procurement modern, tetapi apakah transformasi ini benar-benar siap dan berpihak pada rakyat, atau hanya sekadar pencitraan digital belaka. (bup)