LAMONGAN – Mari kita menyelami kisah hidup seorang tokoh karismatik yang jejaknya abadi di tanah Jawa, khususnya di Lamongan.
Sunan Drajat, Beliau, yang dulunya dikenal dengan nama kecil Raden Qasim, diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi.
Darah biru mengalir dalam nadinya, karena ia adalah putra bungsu dari Sunan Ampel (Raden Rahmat), seorang tokoh sentral penyebaran Islam, dan Nyai Ageng Manila (Dewi Condrowati).
Hebatnya lagi, Sunan Ampel sendiri adalah putra dari Maulana Malik Ibrahim, sosok pionir yang pertama kali menancapkan panji Islam di Pulau Jawa.
Jadi, bisa dibilang, Sunan Drajat lahir dari keluarga terhormat yang punya peran super penting dalam sejarah Islam di Nusantara.
Tak hanya itu, ia juga merupakan saudara kandung dari Sunan Bonang, anggota Walisongo yang pengaruhnya sangat besar.
Raden Qasim tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat religius di Ampeldenta, Surabaya.
Ayahnya, Sunan Ampel, seorang ulama ternama, mendidiknya dengan ilmu yang mendalam, mulai dari agama Islam, bahasa, seni, budaya, hingga sastra Jawa.
Pengaruh dari ibunya yang berdarah Jawa juga membuatnya memahami betul adat dan tradisi setempat.
Atas perintah sang ayah, Raden Qasim kemudian menjalankan misi dakwahnya ke wilayah pesisir barat Gresik.
Perjalanan dakwahnya penuh liku, hingga akhirnya ia menetap dan mengembangkan ajaran Islam di sebuah desa yang kini kita kenal dengan nama Drajat, di wilayah Paciran, Lamongan.
Nama inilah yang kemudian melekat padanya sebagai Sunan Drajat.
Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Drajat menikah beberapa kali, di antaranya dengan:
Dewi Sufiyah, putri dari Sunan Gunung Jati. Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai tiga putra-putri: Pangeran Rekyana (Pangeran Tranggana), Pangeran Sandi, dan Dewi Wuryan.
Nyai Kemuning, putri dari Ki Mayang Madu.
Nyai Retna Ayu Candra Sekar, putri dari Adipati Kediri, Arya Wiranatapada.
Melalui pernikahan-pernikahannya, Sunan Drajat memiliki keturunan yang di kemudian hari juga turut berkontribusi dalam perkembangan Islam dan masyarakat di berbagai penjuru.
Sunan Drajat diperkirakan wafat pada tahun 1522 Masehi dan dimakamkan dengan khidmat di Desa Drajat, Paciran, Lamongan.
Makamnya hingga kini menjadi destinasi ziarah yang ramai dikunjungi dari berbagai daerah.
Garis keturunan Sunan Drajat jelas menunjukkan betapa eratnya hubungannya dengan tokoh-tokoh penting dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa.
Kelahirannya di lingkungan yang penuh nilai agama dan pendidikannya yang komprehensif menjadi modal utama dalam perjuangan dakwah dan pemberdayaan masyarakat yang gigih dilakukannya di Lamongan.
Jejak Perjuangan Sunan Drajat di Tanah Lamongan
Sunan Drajat, sang anggota Walisongo yang melegenda, meninggalkan jejak dakwah dan perjuangan yang mendalam di Lamongan, terutama di desa yang kini menyandang namanya, Drajat, Kecamatan Paciran.
Kisah perjuangannya tak hanya sebatas menyebarkan agama Islam, tetapi juga mencakup upaya memberdayakan masyarakat dan membangun peradaban yang adil dan makmur.
Sunan Drajat memilih wilayah pesisir Lamongan, yang kala itu masih kental dengan kepercayaan lokal, sebagai pusat dakwahnya.
Dengan kebijaksanaan dan pendekatan yang menyentuh hati, beliau tidak serta-merta menentang tradisi yang ada.
Sebaliknya, ia secara bertahap memperkenalkan ajaran Islam melalui jalur budaya dan sosial yang diterima dengan baik oleh masyarakat.
Salah satu metode dakwah Sunan Drajat yang paling terkenal adalah melalui seni.
Beliau menciptakan tembang Pangkur yang sarat akan nilai-nilai Islam dan nasihat kehidupan.
Lantunan tembang yang merdu, diiringi alunan gamelan yang khas, berhasil menarik perhatian masyarakat dan menjadi cara yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan agama.
Lebih dari sekadar kata-kata, Sunan Drajat menunjukkan langsung penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Beliau dikenal sangat memperhatikan kaum dhuafa, anak yatim, dan orang sakit. Tindakan nyata berupa pemberian bantuan, pengobatan, dan pendampingan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk lebih mengenal dan memeluk agama Islam.
Filosofi Sunan Drajat yang menjadi landasan perjuangan sosialnya dikenal dengan nama Catur Piwulang, yang berbunyi:
“Berikanlah tongkat kepada orang buta, berikanlah makan kepada orang lapar, berikanlah pakaian kepada orang telanjang, berikanlah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan.”
Filosofi mulia ini tidak hanya menjadi pedoman bagi para pengikutnya, tetapi juga membentuk karakter masyarakat Lamongan yang dikenal memiliki semangat gotong royong dan kepedulian sosial yang tinggi hingga saat ini.
Selain itu, Sunan Drajat juga aktif dalam membangun infrastruktur dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Beliau mengajarkan cara bercocok tanam yang lebih baik, membangun sistem pengairan sederhana, dan memberikan keterampilan bertukang.
Hal ini menunjukkan bahwa dakwah Islam yang dibawanya tidak hanya menyentuh aspek spiritual, tetapi juga aspek materi kehidupan masyarakat.
Berkat keteladanan, kebijaksanaan, dan perjuangan yang gigih, Sunan Drajat berhasil menanamkan nilai-nilai Islam di hati masyarakat Lamongan.
Pesantren yang didirikannya menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam yang melahirkan generasi muslim yang taat dan berakhlak mulia.
Hingga kini, makam Sunan Drajat di Lamongan terus dikunjungi oleh para peziarah dari berbagai penjuru.
Warisan nilai-nilai luhur yang diajarkannya terus hidup dan menjadi inspirasi bagi masyarakat Lamongan untuk melestarikan tradisi kebaikan dan kepedulian sosial.
Perjuangan Sunan Drajat di Lamongan adalah contoh dakwah Islam yang damai, inklusif, dan berorientasi pada kemaslahatan umat. (Az)