SEMARANG – Suasana khidmat perayaan Lebaran 2025 tercoreng oleh sebuah insiden yang melibatkan aparat kepolisian.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan permohonan maaf atas dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang ajudannya terhadap seorang jurnalis di Semarang, Jawa Tengah.
Peristiwa ini terjadi saat Kapolri tengah melakukan peninjauan pelayanan arus balik Lebaran di Stasiun Tawang, Kota Semarang.
Kendati demikian, Kapolri sempat menyampaikan dugaan bahwa pelaku pemukulan tersebut bukanlah ajudan pribadinya, melainkan anggota tim pengamanan.
Pernyataan ini menambah lapisan kompleksitas pada insiden yang telah memicu kecaman luas dari berbagai organisasi pers dan masyarakat sipil.
Permintaan maaf yang disampaikan oleh Kapolri mengindikasikan keseriusan pimpinan kepolisian dalam menanggapi tuduhan ini, sekaligus menyiratkan pemahaman akan potensi kerusakan citra publik yang mungkin timbul akibat tindakan tersebut.
Namun, adanya indikasi perbedaan identifikasi pelaku menimbulkan pertanyaan mengenai kejelasan peran dan tanggung jawab personel kepolisian dalam acara-acara publik semacam ini.
Insiden yang mencoreng citra kepolisian ini terjadi di Stasiun Tawang, Semarang, pada hari Sabtu, 5 April 2025.
Saat itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sedang meninjau kesiapan dan pelayanan arus balik Lebaran tahun 2025.
Kehadiran Kapolri tentu saja menarik perhatian awak media yang bertugas untuk mengabadikan momen penting tersebut.
Salah seorang jurnalis yang menjadi korban dalam insiden ini adalah Makna Zaezar, seorang pewarta foto dari Kantor Berita Antara Foto.
Ketika sedang menjalankan tugasnya mengambil gambar, Makna Zaezar tiba-tiba didatangi oleh seorang ajudan Kapolri.
Tanpa alasan yang jelas, ajudan tersebut diduga melakukan tindakan kasar dengan mendorong Makna hingga ia terhuyung.
Tak hanya itu, kekerasan fisik berlanjut dengan pukulan di bagian kepala.
Pengalaman traumatis yang dialami oleh Makna Zaezar ini menjadi sorotan utama dalam pemberitaan berbagai media.
Fakta bahwa insiden ini terjadi saat peliputan acara publik yang penting semakin menggarisbawahi betapa rentannya para jurnalis saat menjalankan tugas mereka.
Selain Makna Zaezar, sejumlah jurnalis lain yang berada di lokasi kejadian juga dilaporkan mengalami intimidasi dari oknum ajudan yang sama.
Dengan nada tinggi dan sikap agresif, ajudan tersebut bahkan melontarkan ancaman verbal yang sangat tidak pantas, “Kalian pers, saya tempeleng satu-satu”.
Beberapa jurnalis lainnya juga mengaku mengalami dorongan fisik dan intimidasi verbal serupa.
Bahkan, seorang jurnalis perempuan melaporkan pengalaman yang lebih mengerikan, di mana ia nyaris dicekik oleh petugas yang sama.
Rangkaian kejadian ini menunjukkan bahwa tindakan represif tersebut tidak hanya ditujukan kepada satu orang jurnalis saja, melainkan merupakan upaya untuk menghalang-halangi kerja media secara keseluruhan.
Perilaku agresif dan intimidatif seperti ini jelas bertentangan dengan prinsip kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan terpercaya.
Menyusul pemberitaan luas mengenai insiden ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan cepat memberikan tanggapan.
Ia menyampaikan permohonan maaf atas kejadian tersebut, terutama kepada para jurnalis yang menjadi korban.
Kapolri menyatakan penyesalannya atas insiden yang terjadi dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi para awak media.
Ia juga menekankan bahwa selama ini hubungan antara Polri dan media massa terjalin dengan baik.
Namun, dalam pernyataannya, Kapolri juga menyampaikan informasi yang sedikit berbeda mengenai identitas pelaku.
Ia menduga bahwa individu yang melakukan pemukulan dan pengancaman tersebut bukanlah ajudan pribadinya, melainkan anggota tim pengamanan.
Meskipun demikian, terlepas dari identitas pasti pelaku, Kapolri tetap meminta maaf atas insiden yang terjadi.
Untuk menindaklanjuti insiden ini, Polri telah mengkonfirmasi bahwa penyelidikan internal sedang dilakukan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divhumas Polri, Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, menyatakan bahwa Polri akan menyelidiki kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh ajudan di Semarang tersebut.
Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Artanto, yang juga turut memberikan keterangan, menegaskan bahwa Polri akan menindak tegas pelaku jika terbukti melanggar aturan yang berlaku.
Langkah cepat Polri dalam merespons kejadian ini menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya menjaga citra institusi dan menghormati kebebasan pers.
Hasil dari penyelidikan internal ini tentu akan menjadi penentu langkah selanjutnya dalam penanganan kasus ini, termasuk kemungkinan sanksi yang akan diberikan kepada pelaku jika terbukti bersalah.
Tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh ajudan Kapolri ini menuai kecaman keras dari berbagai organisasi pers di Indonesia.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Semarang menjadi yang pertama kali menyampaikan pernyataan sikap.
Mereka mengecam keras tindakan kekerasan oleh ajudan Kapolri terhadap jurnalis dan segala bentuk penghalangan terhadap kerja jurnalistik.
Kedua organisasi ini menuntut permintaan maaf terbuka dari pelaku kekerasan terhadap jurnalis.
Kecaman serupa juga datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Surakarta.
Ketua PWI Surakarta, Anas Syahirul, menyayangkan aksi tidak terpuji ajudan Kapolri tersebut dan meminta pihak Polri tidak tinggal diam.
PWI Surakarta bahkan mendesak agar ajudan yang bersangkutan dicopot dari jabatannya.
Mereka menekankan bahwa tindakan ajudan tersebut sangat kontradiktif dengan imbauan Kapolri yang berulang kali meminta polisi untuk bersikap humanis.
Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) juga turut mengecam keras tindakan kekerasan dan intimidasi yang dilakukan oleh ajudan Kapolri.
Ketua Iwakum, Ponco Saputro, menyatakan bahwa perilaku ajudan Kapolri tidak hanya melukai secara fisik dan psikis, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap aparat.
Reaksi serentak dari berbagai organisasi pers ini menunjukkan adanya solidaritas yang kuat di antara para jurnalis dalam menyikapi tindakan kekerasan dan intimidasi yang menghambat kebebasan pers.
Mereka bersatu dalam menuntut keadilan dan kepastian hukum atas insiden ini.
Tindakan yang diduga dilakukan oleh ajudan Kapolri tersebut berpotensi melanggar ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara jelas menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghalang-halangi atau mempersulit wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Adanya potensi pelanggaran terhadap undang-undang ini semakin memperkuat urgensi penanganan kasus ini secara serius dan transparan.
Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis diharapkan dapat memberikan efek jera dan mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.
Insiden dugaan kekerasan terhadap jurnalis oleh seorang ajudan Kapolri di tengah acara penting peninjauan arus balik Lebaran telah memicu gelombang kecaman dan menimbulkan pertanyaan serius mengenai perilaku aparat kepolisian serta penghormatan terhadap kebebasan pers.
Permintaan maaf yang disampaikan oleh Kapolri dan langkah investigasi yang telah diumumkan merupakan respons awal yang penting. Namun, kejelasan mengenai identitas pelaku dan hasil dari penyelidikan internal akan menjadi tolok ukur komitmen Polri dalam menegakkan akuntabilitas.
Kecaman keras dari berbagai organisasi pers menunjukkan betapa pentingnya isu ini bagi komunitas jurnalis dan masyarakat luas.
Insiden ini menjadi pengingat bahwa kebebasan pers merupakan pilar penting dalam negara demokrasi, dan para jurnalis harus dapat menjalankan tugas mereka tanpa rasa takut akan intimidasi atau kekerasan.
Penanganan kasus ini secara tuntas dan transparan akan menjadi ujian bagi Polri dalam menunjukkan komitmennya untuk menghormati kebebasan pers dan memastikan bahwa kejadian serupa tidak akan terulang kembali.
Selain itu, insiden ini juga menggarisbawahi perlunya evaluasi terhadap standar perilaku dan pelatihan bagi para ajudan dan tim pengamanan yang mendampingi pejabat publik, terutama saat berinteraksi dengan media dan masyarakat. (Red)