MALANG – Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Pemuda Mahasiswa Jawa Timur mengadakan diskusi dan deklarasi penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Kejaksaan (RUU Kejaksaan).
Forum diskusi yang diprakarsai oleh Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) ini dihadiri oleh berbagai aktivis, praktisi hukum, dan mahasiswa, dan berlangsung di Hotel Pelangi Dua, Jl Simpang Gajayana, Kota Malang, pada Kamis (20/2/2025).
Di antara narasumber yang hadir adalah Ketua Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Merdeka (Unmer) Malang, Dr. H. Supriyadi, S.H., M.H., advokat dan praktisi hukum, Firdaus, serta aktivis Syarif Hidayatullah.
Dalam forum ini, para peserta membahas pasal-pasal yang dianggap ambigu dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dalam sistem peradilan di Indonesia.
Firdaus mengkritik ketentuan dalam RUU Kejaksaan yang mengharuskan izin dari Kejaksaan Agung sebelum memeriksa jaksa yang diduga terlibat dalam tindak pidana.
“Izin dari Kejaksaan Agung sebelum memeriksa jaksa merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasaan dan berpotensi menimbulkan intervensi antar lembaga negara dalam penegakan hukum di Indonesia,” ungkap Firdaus.
Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 28, yang memberikan kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan. Menurutnya, ini menjadi masalah serius karena penyidikan seharusnya menjadi kewenangan kepolisian.
“Kejaksaan juga diberi wewenang untuk menghentikan penyidikan. Ini rancu, karena dua instansi memiliki kewenangan yang tumpang tindih. Dalam praktiknya, hal ini justru akan menyulitkan penyelesaian perkara,” tegas Firdaus.
Firdaus menambahkan bahwa dalam negara demokrasi, setiap warga negara dan lembaga harus diperlakukan setara, dan jika terlibat dalam tindak pidana, harus diproses hukum, sama seperti anggota kepolisian yang diduga melakukan korupsi yang langsung ditangkap dan diproses.
“Namun, dalam RUU Kejaksaan, satu perkara yang ditangani polisi bisa dihentikan oleh Kejaksaan. Lalu, siapa yang bertanggung jawab? Ini tidak jelas dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa ide penambahan kewenangan Kejaksaan dalam RUU ini seharusnya dipertimbangkan dengan lebih matang, dan Kejaksaan perlu lebih banyak melakukan refleksi dan evaluasi terhadap kasus-kasus yang menghebohkan masyarakat.
Firdaus menilai bahwa aturan ini justru semakin memperjelas tumpang tindih kewenangan dan dapat memperburuk sistem hukum yang ada.
“Memperluas kewenangan justru membuatnya semakin tidak jelas dan lepas dari tanggung jawab. Seharusnya, bukan memperlebar kewenangan institusi, tetapi memperkuat pengawasan,” lanjutnya.
Sebagai solusi, Firdaus menekankan pentingnya perbaikan yang lebih substansial.
“Bukan hanya tentang perluasan kewenangan kelembagaan, tetapi juga pentingnya memasukkan Komisi Pengawasan Kejaksaan. Hal ini seharusnya diatur dengan baik, bukan justru menambah tumpang tindih kewenangan,” tambahnya.
Prinsip dalam perumusan undang-undang seharusnya menjamin kepastian hukum, keadilan, dan manfaat. Namun, RUU Kejaksaan ini tidak mencerminkan prinsip-prinsip dasar tersebut, malah berpotensi menciptakan ketidakproporsionalan dalam kewenangan lembaga negara.
Sementara itu, Dr. H. Supriyadi, S.H., M.H., dari Unmer Malang, menekankan bahwa perubahan dalam sistem hukum harus berlandaskan pada efektivitas dan kepastian hukum, bukan justru menimbulkan kebingungan baru.
“Jika sistem ini tetap dipaksakan, dikhawatirkan akan semakin menambah ketidakpastian dalam penegakan hukum,” ujarnya.
Di akhir diskusi, semua peserta yang hadir menyatakan sikap dengan melakukan deklarasi penolakan terhadap RUU Kejaksaan.
Mereka berpendapat bahwa rancangan ini justru dapat mengalihkan tanggung jawab dan semakin memperumit sistem peradilan di Indonesia.
“Kami menolak karena ini bukan sekadar masalah regulasi, tetapi berkaitan dengan kepastian hukum bagi masyarakat. Sistem yang tumpang tindih hanya akan merugikan rakyat,” tegas Syarif Hidayatullah.
Deklarasi dari para aktivis, praktisi hukum, dan mahasiswa Jawa Timur menjadi bentuk perlawanan akademik serta aspirasi dari kalangan mahasiswa dan praktisi hukum yang berharap agar pemerintah dan legislatif mempertimbangkan kembali rancangan aturan tersebut sebelum disahkan.
Dengan adanya kritik dan masukan dari berbagai pihak, diharapkan sistem hukum di Indonesia dapat berjalan lebih transparan, adil, dan bertanggung jawab. (Fur)