Beranda Daerah Proyek Rekonstruksi Jalan Sukosewu Jadi Sorotan Masyarakat

Proyek Rekonstruksi Jalan Sukosewu Jadi Sorotan Masyarakat

Img 20250120 Wa0018

BOJONEGORO – Proyek rekonstruksi jalan Sukosewu, Kabupaten Bojonegoro, menjadi sorotan tajam masyarakat. Selain terlambat dari jadwal kontrak, proyek ini juga menuai kontroversi akibat ketiadaan akses jalan yang layak bagi warga sekitar serta dugaan penggunaan tanah warga tanpa ganti rugi.

Dinas PU Bina Marga dan Penataan Ruang (BMPR) Kabupaten Bojonegoro menegaskan bahwa proyek ini telah sesuai dengan perencanaan awal, meski dampaknya cukup signifikan bagi masyarakat.

Proyek dengan nilai Rp2,92 miliar ini berada di bawah kontrak nomor 620/11/SP.RKJ/APBD/412.203/2024, dimulai pada 20 September 2024 dengan masa pelaksanaan 90 hari kalender yang seharusnya selesai pada 18 Desember 2024. Pelaksana proyek adalah CV. WHYD, dengan pengawasan oleh CV. Reussie. Hingga kini, proyek tersebut mengalami dua kali perpanjangan, dan pelaksana dikenakan denda sebesar 20% dari sisa pekerjaan yang belum diselesaikan.

Keluhan warga muncul akibat tingginya Tembok Penahan Tanah (TPT) jalan yang menghalangi akses jalan ke permukiman mereka. Selain itu, adanya dugaan penggunaan tanah warga tanpa ganti rugi menambah kekecewaan. Namun, Kepala Bidang Jalan Dinas PU Bina Marga, Raditya Bismoko, menegaskan bahwa proyek ini dirancang sesuai dengan kebutuhan teknis di lokasi tersebut.

“Perencanaannya memang seperti itu, kalau tidak seperti itu bagaimana? Kan sudah kita sesuaikan. Kita sudah koordinasi dengan teman-teman jembatan, pasti dari sisi perencanaan sudah sesuai kebutuhan di situ,” ujar Raditya saat dikonfirmasi pada Jumat (17/1/2025) diruang kerjanya.

Raditya juga menegaskan bahwa tidak ada pembebasan lahan dalam pelaksanaan proyek ini.

“Pada saat konsultasi di lapangan, kita didampingi desa. Dari kita memang tidak ada pembebasan lahan, kita memanfaatkan tanah jalan yang ada,” tambahnya.

Terkait dugaan pergeseran atau penggunaan tanah warga, Raditya menyatakan bahwa hal tersebut berada di ranah pemerintah desa.

“Kalau soal batas, yang paham desa. Saya hanya melaksanakan pekerjaan ini sesuai dengan tanah jalan,” jelasnya.

Permasalahan yang mencuat adalah minimnya perhatian terhadap akses warga yang terhalang akibat desain proyek. Tingginya TPT membuat warga kesulitan untuk keluar-masuk area tempat tinggal mereka. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana pemerintah memprioritaskan kebutuhan masyarakat dalam perencanaan proyek.

Sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, pemerintah wajib memastikan bahwa proyek pembangunan tidak hanya memenuhi kebutuhan teknis tetapi juga memberikan solusi terhadap dampak yang dirasakan masyarakat sekitar.

Namun, Raditya tetap bersikukuh bahwa proyek ini telah mengikuti aturan yang berlaku.

“Semua aturan pokok sudah saya ikuti. Kemarin pembayarannya tidak 100%, sesuai hasil kerja di lapangan, dan pelaksana sudah kena denda sesuai aturan,” ungkapnya.

Warga berharap agar pemerintah dapat merevisi desain proyek sehingga akses jalan mereka tidak terabaikan. Selain itu, masyarakat mendesak adanya kejelasan terkait dugaan penggunaan tanah tanpa kompensasi.

Insiden lain yang turut memperburuk citra proyek ini adalah kasus pemukulan seorang aktivis oleh pihak kontraktor yang sempat viral di media sosial. Hal ini semakin memperkeruh suasana dan menimbulkan ketidak percayaan terhadap pelaksanaan proyek tersebut.

Proyek rekonstruksi jalan Sukosewu menjadi cerminan pentingnya pendekatan yang seimbang antara perencanaan teknis dan perhatian terhadap kebutuhan masyarakat terdampak. Dengan anggaran yang besar, masyarakat berhak mendapatkan hasil yang tidak hanya sesuai dengan standar teknis tetapi juga ramah terhadap kepentingan mereka. Pemerintah diharapkan segera memberikan solusi konkret agar pembangunan ini benar-benar bermanfaat bagi semua pihak. (aj)