Orbitnasional.com – Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo lahir di Kampung Sawah, Bogor, Jawa Barat, pada 7 Juni 1908. Ayahnya, Raden Ngabehi Martomihardjo, adalah seorang Asisten Wedana di Jasinga, Bogor, sementara ibunya bernama Raden Ajeng Kasmirah. Keluarga Soekanto tinggal di lembah Sungai Cisadane yang subur.
Soekanto dididik disiplin Barat oleh ayahnya dan ajaran Islam oleh budenya. la tumbuh menjadi pribadi yang kuat, tabah, teliti, dan tidak mudah menyerah. Sebagai anak pertama, ia memang diharapkan bisa memberi contoh untuk adik-adiknya.
Pendidikan formal Soekanto dimulai ketika masuk Frobel School (Taman Kanak-kanak Belanda). Dua tahun kemudian, ia melanjutkan ke Sekolah Rakyat Belanda yakni Europeesche Lagere School (ELS) di Bogor hingga kelas dua. Saat kelas tiga, ia diminta ikut pamannya yang tinggal di Tangerang.
Tempat barunya dikitari perkebunan yang luas sehingga Soekanto kecil sempat punya cita-cita menjadi insinyur pertanian. Minat bacanya meningkat pesat, terutama untuk artikel koran tentang alam Nusantara. Keindahan alam juga menumbuhkan minatnya menggambar. Nilai menggambarnya selalu bagus, bahkan pernah sembilan.
la senang juga akan musik, menyanyi, dan bermain catur. Soekanto gampang akrab dengan semua kalangan. la dan teman-temannya sering mandi di Cisadane. Kala senggang, ia keluar masuk hutan berburu berbekal senapan angin pamannya.
Setamat ELS, Soekanto pindah ke Bandung untuk melanjutkan ke HBS. Sayang, biaya pendidikan dan hidup yang tinggi di Bandung memaksa Soekanto kembali ke Bogor. la tidak putus sekolah. la meneruskan HBS di Jakarta, supaya lebih hemat la dapat pergi pulang Bogor-Jakarta dengan kereta api, dan dari Stasiun Gambir ke sekolahnya menggunakan sepeda.
Soekanto ikut kepanduan semasa di HBS, Kegiatan ini mendatangkan kesadaran nasionalisme. Sayang, semangatnya bersekolah kurang sebanding dengan hasilnya. Soekanto lulus HBS lebih lama dari yang seharusnya yang lima tahun.
Pada 1929, setelah lulus HBS, ia melamar ke Sekolah Aspiran Komisaris Polisi (Aspirant Commisaris Van Poiitie). Sayang ditolak. Tapi, ia mendapat kesempatan mengikuti pendidikan Hoofd Agent (kursus agen polisi). Giliran Soekanto yang menolak. Setahun kemudian ia menerima telegram dari Sekolah Aspiran Komisaris Polisi. la sangat mensyukurinya karena pada saat itu sulit bagi pribumi bersekolah di situ.
Soekanto merupakan siswa Angkatan VIII dan ia harus menyelesaikan pendidikan selama tiga tahun. Prestasinya dalam pelajaran menembak sangat menonjol saat itu. Ketika naik ke tingkat dua, Soekanto menikah dengan Hadidjah Lena Mokoginta, anak Raja Bolaang Mongondow, pada 21 April 1932 di Selabintana, Sukabumi.
Pernikahan itu menambah semangatnya untuk segera lulus. Pada 1 Agustus 1933, Soekanto lulus dengan pangkat Komisaris Polisi Kelas III. Ini membanggakannya karena sebagai pribumi dia dapat memerintah anak buah yang berkebangsaan Belanda. Kejadian ini langka pada saat itu.
Soekanto sering berpindah tempat tugas. Pos pertamanya adalah Semarang. la banyak mendapat tugas reserse di sini. Salah satu prestasinya, pengungkapan pembunuhan orang Belanda. Tempat tugas lain yang meninggalkan kesan adalah Kalimantan Timur dan Selatan pada 1940. Saat itu beredar bebas rompi yang kata penjualnya sakti anti peluru.
Sebagai Komisaris Polisi, Soekanto membongkar penipuan ini dengan cara memakaikan rompi itu ke kambing lalu menembaknya. Si kambing sial langsung menemui ajal, demikian juga penipuan yang terjadi.
Tahun 1942 Jepang masuk ke Hindia Belanda. Soekanto diangkat menjadi Itto Keishi (Komisaris Tingkat I), berkedudukan di Jakarta. la mengusulkan pembentukan pendidikan kepolisian khusus. Jepang setuju, sehingga berdirilah Jakarta Shu Keisatsu Ga/c/co. Tetapi ia tak bisa berlama-lama. Karena diisukan berdarah Belanda, ia dipindahkan Jepang ke sekolah polisi Jawa Keisatsu Ga/c/co di Sukabumi sebagai instruktur.
17 Agustus 1945, Soekarno – Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Berita ini sampai ke sekolah polisi di Sukabumi. Soekanto langsung menurunkan bendera Jepang dan bersama anak didiknya merebut senjata mereka.
Pada 29 September 1945, Presiden Soekarno menunjuk Soekanto membentuk Polisi Nasional. Ini tugas berat: Republik masih labil, personel kurang, dan Sekutu datang. Mengingat suasana kurang aman, kantor Jawatan Kepolisian Negara pun dipindahkan ke Purwekerto.
Di sinilah kepolisian berkembang, ditandai dengan berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian dan dibentuknya satuan polisi yang mampu bergerak cepat dan berfungsi sebagai pasukan pemukul, Mobrig (Mobile Brigade) yang dipimpin oleh IP I M. Jasin.
Wakil Presiden Mohammad Hatta kemudian memerintahkan Soekanto bersekolah ke Amerika guna mempelajari bentuk, susunan, dan perlengkapan kepolisian mereka. Akibat Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan Republik Indonesia Serikat (RIS), kepolisian negara pun terbagi-bagi atas negara bagian.
Kewenangannya tidak lagi di bawah Menteri Dalam Negeri, tetapi Perdana Menteri Pada Maret 1950, RIS bubar dan kembali menjadi Republik Indonesia, Kepolisian pun berganti nama menjadi Jawatan Kepolisian Negara. Soekanto lantas membentuk 11 kepolisian provinsi dan membangun gedung Jawatan Kepolisian Negara di Jalan Trunojoyo, Jakarta.
Seiring waktu, tugas kepolisian pun semakin bertambah. Polisi tidak saja dituntut menjaga keamanan di darat, tetapi juga di air dan udara, serta menangkal ancaman kejahatan lintas negara. Untuk mengatasinya dibentuklah Polisi Perairan, yang di dalamnya ada Seksi Udara, Polisi Perintis, Polisi Kereta Api, Polisi Wanita.
Pada 1950, seksi Public Relation dibentuk dengan tugas menjalin hubungan dengan masyarakat dan semua instansi yang ada di dalam maupun luar negeri. Pada 1952, Indonesia bergabung dengan interpol yang berpusat di Paris, kelanjutannya Jawatan Kepolisian Negara ditunjuk sebagai Central National Beureau (NEC).
Soekanto juga merumuskan Pedoman Hidup Kepolisian Negara, yang dikenal dengan Tri Brata Kepolisian Negara, yaitu 1) Polisi itu abdi utama nusa dan bangsa, 2) Polisi itu warga Negara yang utama dari negara, 3) Polisi itu wajib menjaga ketertiban pribadi rakyat. R.S. Soekanto mengakhiri masa tugas pada 1959. (tim/red)